Nationalgeographic.co.id—Perseteruan antara Kekaisaran Bizantium dan Kehalifahan Islam adalah bentrokan Kristen dan Islam yang paling lama berlangsung. Perseteruan kedua peradaban ini terjadi hampir 900 tahun, dari abad ke-7 hingga abad ke-15.
Kedua peradaban ini telah berseteru berabad-abad, Kekaisaran Bizantium mewakili tatanan Kristen Eropa. Sementara Kekhalifahan Islam, tidak hanya berasal dari jazirah Arab, namun juga dari Turki.
Bentrokan antara dua peradaban ini paling nyata terjadi di sepanjang perbatasan Kekaisaran Bizantium dan Timur Tengah.
Perbatasan Bizantium dan Timur Tengah adalah batas sejarah dan zona konflik antara Kekaisaran Bizantium dan berbagai Kekhalifahan Islam selama periode abad pertengahan.
Perbatasan ini merupakan medan perang utama dan tempat konfrontasi militer yang sedang berlangsung antara dua peradaban kuat selama beberapa abad.
Al-ʿAwāṣim adalah perbatasan yang dikenal oleh Kekhalifahan Islam merupakan lokasi puluhan benteng, penyerbuan terus-menerus, dan nyaris tanpa hukum.
Seiring waktu, eksploitasi Akritai memunculkan genre puisi dan cerita rakyat tertentu mengenai versi mitologi kehidupan di perbatasan. Akritai adalah orang-orang yang dipercayakan oleh Bizantium untuk menjaga perbatasan.
Perbatasan Kekaisaran Bizantium-Timur Tengah
Selama berabad-abad, Kekaisaran Bizantium dan Dinasti Sassanid di Persia telah menjadi negara adidaya yang unggul di wilayah tersebut.
Kedua kekaisaran terlibat dalam perang dan perbatasan antara kedua kekaisaran mengalami pasang surut, dengan berbagai kota kecil, kota besar, dan benteng berpindah tangan. Namun secara umum, status quo tetap tidak berubah.
Pada awal abad ketujuh, kaum Sassaniyah melancarkan kampanye besar-besaran, menaklukkan sebagian besar wilayah Kekaiaran Bizantium.
Meskipun Kekaisaran Bizantium pada akhirnya berhasil memulihkan kekaisarannya, baik Kekaisaran Bizantium maupun Sassaniyah mengalami penurunan sumber daya dan kekuatan yang parah.
Kondisi mereka yang melemah menciptakan kekosongan kekuasaan, yang dimanfaatkan oleh negara-negara Arab yang baru bersatu setelah penyebaran Islam oleh Nabi Muhammad SAW.
Tentara Arab, yang dikenal karena kecepatan dan kegigihannya, memberikan pukulan telak terhadap pasukan Sassanid pada Pertempuran Qadisiyyah pada tahun 636/37.
Pertempuran itu secara efektif menghapuskan kekuatan tetangga Kekaisaran Bizantium yang sudah lama ada. Selanjutnya, dalam Pertempuran Yarmuk pada tahun 636, bangsa Arab juga menimbulkan kekalahan telak terhadap tentara Kekaisaran Bizantium.
Setelah pertempuran ini, Kekhalifahan Islam memperluas penyebaran Islam dan masuk hingga wilayah Kekaisaran Bizantium, sampai Pegunungan Taurus di Kilikia.
Kekaisaran Bizantium, menyadari gawatnya situasi dari penyebaran Islam. Mereka mundur ke belakang Pegunungan Taurus untuk mengkonsolidasikan sisa wilayah kekuasaan mereka dan memperkuat pertahanan.
Akibatnya, muncul wilayah yang signifikan dan berpenduduk jarang di antara Kekaisaran Bizantium dan Arab.
Wilayah tersebut dikenal dalam bahasa Arab sebagai “al-Ḍawāḥī” (اَلـدَّوَاحِي, “dari Negeri Luar”) dan dalam bahasa Yunani sebagai “ta akra” (τὰ ἄκρα, “bagian ekstrem”).
Zona ini mencakup wilayah Kilikia, membentang di sepanjang selatan pegunungan Taurus dan Anti-Taurus, sedangkan dataran tinggi Anatolia tetap berada di bawah kendali Kekaisaran Bizantium.
Baik Kaisar Heraclius (memerintah 610–641) maupun Khalifah Umar bin Khattab (memerintah 634–644) mengadopsi strategi militer di zona ini, dengan tujuan untuk menciptakan penyangga yang efektif di antara wilayah masing-masing.
Namun, tujuan akhir para khalifah Islam tetaplah penyebaran Islam di wilayah Kekaisaran Bizantium. Pencapaian tersebut diharapkan seperti yang telah dicapai sebelumnya dengan provinsi-provinsinya di Suriah, Mesir, dan Afrika Utara.
Baru setelah kegagalan Pengepungan Arab Kedua di Konstantinopel pada tahun 717–718 terjadi pergeseran tujuan strategis.
Meskipun pengepungan ke Anatolia terus berlanjut, konfrontasi langsung dengan Kekaisaran Bizantium ditinggalkan. Sehingga menyebabkan munculnya wilayah yang lebih permanen di sepanjang perbatasan antara kedua kekuatan tersebut.
Selama dua abad berikutnya, kendali atas benteng-benteng perbatasan mungkin telah berpindah tangan antara Kekaisaran Bizantium dan Kekhalifahan Islam. Namun garis besar fundamental perbatasan Bizantium-Arab sebagian besar tetap tidak berubah.
Pertahanan Kekaisaran Bizantium
Selama periode perseteruan dengan Kekhalifahan Islam, Kekaisaran Bizantium cenderung menolak penyebaran Islam dan bertahan dengan pendekatan militer.
Sementara para khalifah selalu memimpin serangan tahunan ke Anatolia Bizantium, mendorong penduduk pedesaan Bizantium untuk mencari perlindungan dari ancaman yang terus-menerus.
Selain akibat wabah penyakit dan invasi Sassanid pada abad-abad sebelumnya, penduduk Kekaisaran Bizantium terus menerus menghadapi tekanan.
Meskipun serangan-serangan ini biasanya lebih kecil dan ditujukan untuk menangkap tawanan, khalifah Umayyah dan Abbasiyah kadang-kadang melancarkan serangan besar-besaran yang menembus jauh ke jantung Anatolia. Seperti yang terjadi pada tahun 782, 806, dan 838.
Di masa lalu, Anatolia Bizantium merupakan wilayah yang berkembang pesat dan banyak mengalami urbanisasi.
Namun karena tekanan yang tak henti-hentinya dari Kekhalifahan Islam, kota-kota Kekaisaran Bizantium menyusut dan berubah menjadi benteng-benteng yang dijaga ketat.
Meskipun beberapa petani Bizantium tetap bertahan, mereka juga menjadi termiliterisasi di bawah sistem Kekaisaran Bizantium. Mereka memberikan tanah kepada tentara sebagai imbalan atas dinas militer.
Sementara daerah perbatasan tidak berpenghuni, dibiarkan terpencil, dan dibentengi untuk mencegah masuknya Kehalifahan Islam.
Provinsi Anatolia Bizantium yang dulunya damai dan makmur kini telah menjadi teater perang yang tidak dapat dikenali lagi.
Daerah perbatasan menjadi sem tanpa hukum, dan Bizantium mempercayakan wewenang kepada Akritai, penjaga perbatasan yang bertugas melindungi dari masuknya penyebaran Islam.
Untuk menanggapi masuknya Kehalifahan Islam, Kekaisaran Bizantium menetapkan rutinitas tahunan di mana para petani mencari keamanan di kota-kota berbenteng sementara tentara melacak pasukan Kehalifahan yang masuk ke wilayah mereka.
Namun demikian, Kekhaisaran Bizantium menyadari kelemahan dan inferioritas mereka dalam pertempuran di lapangan terbuka jika ingin mengusir Kekhalifahan Islam. Maka Kekaisaran Bizantium mengadopsi strategi serang dan lari, strategi yang dianggap cukup efektif.
Perseteruan kedua peradaban ini terus berlanjut hingga berabad-abad kemudian, setidaknya perseteruan Kekaisaran Bizantium dan Kekhalifahan Islam berlangsung hampir 9 abad dengan pasang surut wilayah.
Hingga kemudian Kekaisaran Bizantium melemah, puncaknya penjarahan Kota Konstantinopel oleh Tentara Salib. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih yang kemudian mengambil alih Kota Konstantinopel pada 29 Mei 1453.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR