Nationalgeographic.co.id—Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Indonesia merupakan negara kedua tingkat stunting tertinggi di Asia Tenggara dengan prevalensinya yang mencapai 31,8 persen, menurut Asian Development Bank (ADB).
Gangguan stunting berkaitan dengan gizi kronis yang menjadi salah satu masalah kesehatan. Di kalangan masyarakat, stunting sering dianggap sebagai faktor genetika. Nyatanya, pengaruh genetika pada stunting sangat kecil dibandingkan faktor lingkungan dan pelayanan kesehatan.
Stunting sering menghambat anak-anak dalam hal pertumbuhan tubuh dan gigi, kemampuan fokus dan memori belajar yang buruk, pubertas yang lambat, cenderung lebih pendiam dan tidak melakukan kontak mata saat diajak berbicara, dan berat badan lebih ringan dibandingkan anak-anak seumurnya.
Untuk mengentaskan masalah stunting, diperlukan upaya kerja sama dari tingkat masyarakat, media, pebisnis, sampai pemerintahan. Salah satunya adalah gerakan Bersama Entaskan Stunting (BERES) yang dinisiasi Kamar Dagang dan Industri (KADIN) yang berkolaborasi dengan Kompas Gramedia melalui Tribun Network.
Selama ini, pemerintah berupaya menurunkan angka stunting di Indonesia hingga 14 persen. Disamping itu, upaya stunting yang berhubungan dengan gizi, berarti juga mengentaskan kemiskinan ekstrem, yang juga diupayakan, demi mewujudkan generasi emas yang sehat dan produktif.
Dalam acara bertajuk “Pencanangan Inisiatif Gotong Royong untuk Pengentasan Stunting dan Kemiskinan Ekstrem”, Kamis, 26 Oktober 2023 di Studio 1 Kompas TV, Jakarta, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan pentingnya masa depan Indonesia.
Indonesia diperkirakan akan mencapai bonus demografi pada 2030. Budi berharap, momen itu harus dijadikan peluang untuk mewujudkan generasi emas agar Indonesia dapat berpindah dari negara berkembang menjadi negara maju.
Generasi emas dapat diwujudkan dengan pemberian gizi yang cukup untuk anak-anak supaya dapat mengembangkan prestasi. Sebab, Gunadi menambahkan, jika momentum tersebut lewat, dan tidak menaikkan pendapatan masyarakat pada 2030, maka Indonesia bisa terjebak dan masuk dalam middle income trap.
Dalam upaya mengentaskan stunting, BERES menggunakan metode kerja sama "Pentahelix". Pada awalnya, gagasan ini diajukan oleh sekelompok anak muda unuk menyalurkan donasi dan mewujudkan program yang dapat dilakukan secara gotong royong berbagai pihak.
Di antara semua yang harus terjalin dalam lingkar kerja sama BERES adalah Pemerintah, bisnis sektor keuangan dan non-keuangan, komunitas masyarakat yang menjadi pegiat implementasi di lapangan, media, dan akademisi.
“Bukan hanya dalam bentuk gagasan, di mana mereka sudah mengimplementasikan yaitu inisiatif gotong royong untuk mengentaskan stunting dan kemiskinan ekstrem model Pentahelix,” terang Ketua Umum Kadin Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi.
Melalui BERES, pengentasan stunting dilakukan dengan program terukur seperti pemberian makanan tambahan kepada balita yang kekurangan berat badan, tidak dapat menaikkan berat badan, dan mengalami kekurangan gizi.
Program ini bekerja sama dengan UMKM dan PKK daerah yang memiliki kasus stunting, agar dapat menyediakan makanan. Dengan cara ini, kesejahteraan miskin ekstrem dan pemberdayaan perempuan juga ditingkatkan, sembari mengentaskan stunting.
"Saya memberikan apresiasi kepada KADIN dan Kelompok Kompas Gramedia atas komitmennya untuk terlibat aktif dalam percepatan penurunan stunting melalui gerakan BERES," ujar Wakil Presiden Republik Indonesia Ma'ruf Amin yang turut hadir dalam acara tersebut.
Dalam acara itu, Ma'ruf juga mengarahkan para pemangku kepentingan untuk terlibat dalam pengentasan stunting.
Upaya pengentasan stunting juga harus saling melengkapi dari apa yang sedang dijalankan pemerintah, dilakukan di lokasi prioritas--terutama yang memiliki prevalensi tinggi, berbentuk aksi nyata yang menyasar kelompok prioritas, serta memberikan manfaat bagi pelaku di tingkat masyarakat dan keberlanjutan agar mencegah stunting.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR