"Kami mendirikan komunitas ini terkait karena kondisi yang kami hadapi di kampung ini (Werur)," tutur Fera yang kini merupakan ketua kelompok tersebut. "Kondisi anak-anak yang pada usia sembilan dan delapan tahun ke atas, yang kami hadapi ini anak-anak yang luar biasa untuk belajar."
Fera menerangkan, Fandun Fakor ini merupakan kegiatan di luar pembelajaran di sekolah. Tidak hanya memperkenalkan kepada anak-anak tentang lingkungan dan mencintai alam sekitarnya, tetapi berbagai aktivitas pembelajaran dilakukan.
"Kami termotivasi untuk membuat kelompok ini karena juga yang kami hadapi anak-anak di kampung ini usia delapan dan sembilan tahun ke atas, sampai bahkan ada yang 10 tahun itu belum bisa membaca," lanjutnya.
Sebagai kelompok yang tidak terikat dengan sekolah, Fandun Farkor awalnya hanya memberi pengenalan alam sekitar. Proses pembelajaran yang dilakukan berada di luar ruangan, salah satunya ke pantai. Dengan demikian, anak-anak dapat mengetahui fungsi flora dan fauna di sekitar alamnya dalam mempertahankan lingkungan pesisir.
Tidak lama setelah berdiri, kelompok ini digandeng oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) untuk mengajarkan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) kepada anak-anak. Dalam pembelajaran PLH, Fandun Farkor juga memiliki buku ajar terkait lingkungan, sekaligus materi untuk belajar membaca untuk anak-anak.
Buku ajar ini merupakan kurikulum untuk sekolah yang salah satunya diinisiasi oleh Nixon Watem, pengajar PLH di SD Negeri Awat, Raja Ampat. Anda dapat membaca lebih lengkap tentang kisahnya yang sebelumnya merupakan nelayan pengebom ikan yang menjadi pengajar konservasi di artikel kami sebelumnya.
Kurikulum ini kemudian dipakai dan disesuaikan oleh Fera dan rekan-rekannya di Fandun Farkor. Mereka kemudian mendapat tempat sekretariat di sekolah, yang juga mendukung pembelajaran dalam ruangan.
Yang terbaru dari Fandun Farkor pada Oktober, Fera dan rekan-rekan pengajar lainnya mengajak anak-anak ke Pulau Amsterdam. Pulau itu tidak jauh dari pesisir Werur, hanya sekitar 15 menit dengan perahu nelayan.
Pulau Amsterdam (Pulau Besar) merupakan bagian dari kawasan lindung yang dijaga oleh masyarakat hukum adat (MHA) Byak Karon. Kawasan lindung ini telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 13 tahun 2019.
Pada 25 Maret 2023, masyarakat adat Byak Karon menetapkan Pulau Amsterdam bersama 12.000 hektare daerah laut di sekitarnya sebagai zona sasi. Selama sasi ditutup, siapa pun tidak diperbolehkan mengambil hasil laut. Masyarakat bisa mengambil dan memanfaatkan hasil laut ketika sasi dibuka selama beberapa hari.
Berkat penetapan, banyak ikan dan biota laut yang mudah dijumpai seperti teripang, kerang lola, beragam jenis ikan, dan terumbu karang. Kelompok Fandun Farkor memperkenalkan semuanya kepada anak-anak, beserta fungsinya pada ekosistem alam sekitar.
"Kami mengajar anak-anak untuk cinta lingkungan, untuk angkut-angkut sampah di pantai," kata Fera.
Fera menambahkan, dengan masyarakat adat pesisir Byak-Karon menghidupkan kembali sasi, kesadaran lingkungan laut turut kembali dalam upaya konservasi warga. Kini, saatnya ia bersama rekan-rekan di Fandun Farkor mendidik generasi muda untuk melanjutkan tongkat estafet perlindungan lingkungan laut dan pesisir sekitar.
"Potensi-potensi yang ada di sini, ke depannya akan selalu ada, dan akan dinikmati oleh generasi ke depan. Generasi anak-anak ini," tuturnya.
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR