Nationalgeographic.co.id–Zoroastrianisme adalah agama dominan di Kekaisaran Persia Akhemeniyah. Dikembangkan berabad-abad silam oleh Nabi Zoroaster, agama Persia ini menyebar ke seluruh wilayah kekaisaran.
Dengan kepercayaan utama pada dewa tertinggi Ahura Mazda, Zoroastrianisme mungkin merupakan agama monoteistik sejati yang pertama.
Menurut penulis Edd Husdon, dilansir dari laman The Collector, “ajaran dan mitologinya sangat memengaruhi tradisi Yudaisme-Kristen, meninggalkan warisan yang bertahan selama ribuan tahun.”
Zoroastrianisme Berasal dari Mitologi Persia Sebelumnya
Zoroastrianisme menjadi agama utama Kekaisaran Persia Akhemeniyah, tetapi asal muasalnya telah ada sejak lima abad sebelumnya. Mitologi Persia yang lebih awal ini memiliki kemiripan dengan tradisi Weda dan akhirnya berkembang menjadi agama Hindu.
Bangsa Persia sendiri adalah bangsa Arya yang beremigrasi ke Iran dari bagian lain di Asia, membawa sistem kepercayaan yang masih muda ini bersama mereka.
Ahura Mazda tentu saja hadir dalam mitologi Persia sebelum perkembangan agama Zoroaster. Dalam mitologi politeistik ini, ia dipandang sebagai pemimpin dari jajaran dewa yang memiliki banyak sisi.
“Dia adalah personifikasi dari cahaya dan kebaikan, melawan kekuatan jahat yang dipimpin oleh Angra Mainyu,” kata Husdon. “Tujuan umat manusia adalah untuk hidup sesuai dengan ajaran Ahura Mazda, sambil melawan godaan Angra Mainyu.”
Ahura Mazda menciptakan dunia fisik dan spiritual. Dia melakukan ini dalam tujuh tahap. Pertama adalah langit, kemudian air dan bumi. Kemudian dia menciptakan tanaman dan Banteng Primordial, sumber dari semua kehidupan hewan. Kemudian dia menciptakan pasangan manusia pertama, dan akhirnya, dia menciptakan api.
Angra Mainyu membunuh banyak ciptaan Ahura Mazda. Namun kemudian, Ahura Mazda menggunakan situasi yang kurang menguntungkan sebagai peluang untuk menciptakan lebih banyak kehidupan.
Zoroastrianisme dan Nabi Zoroaster
Zoroastrianisme dikembangkan oleh seorang nabi bernama Zarathustra, atau juga dikenal oleh orang Yunani sebagai Zoroaster.
Mengikuti jejak ayahnya, Zoroaster masuk menjadi imam sejak usia muda dan tampaknya dilahirkan dalam keluarga yang relatif kaya. Ketika berusia sekitar tiga puluh tahun, Zoroaster mendapatkan sebuah penglihatan ketika sedang melakukan ritual pemurnian.
Di sisi lain tepi sungai, Zoroaster melihat makhluk bercahaya yang memberi isyarat kepadanya. Makhluk itu menyebut dirinya Vohu Manah, yang berarti "Pikiran yang Baik".
Vohu Manah menuntun Zoroaster untuk menemukan Ahura Mazda dan enam makhluk spiritualnya yang disebut Amesha Spentas. Mereka memberitahunya bahwa kepercayaan lama adalah kepalsuan dan Ahura Mazda adalah satu-satunya Tuhan yang benar.
Zoroaster kemudian mulai menyebarkan ajarannya. Ia juga mengembangkannya melalui penglihatan-penglihatan berikutnya dengan bantuan Ahura Mazda.
“Ada perdebatan di antara para ahli tentang kapan Zoroaster menyebarkan ajarannya. Konsensus yang ada adalah bahwa ia hidup antara tahun 1500 dan 1000 SM,” kata Husdon.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa Zoroaster adalah orang yang hidup sezaman dengan Cyrus Agung; pendiri Kekaisaran Akhemeniyah. Meskipun berstatus sebagai nabi, Zoroaster sendiri tidak disembah.
Konsep Agama Zoroaster
Berbeda dengan kepercayaan politeisme mitologi Persia kuno, Zoroastrianisme mengakui Ahura Mazda sebagai satu-satunya Tuhan yang benar. Makhluk tertinggi ini diyakini sebagai pencipta alam semesta.
“Dia maha kuasa, maha tahu, dan maha hadir,” kata Husdon. “Ahura Mazda juga dikenal sebagai ‘Tuhan yang Bijaksana’, dan merupakan personifikasi dari segala sesuatu yang adil dan baik.”
Seperti dalam agama Persia kuno, Ahura Mazda ditentang oleh Angra Mainyu, yang merupakan esensi dari kejahatan. Para penganut Zoroaster percaya bahwa Ahura Mazda memberikan kehendak bebas kepada manusia.
Dengan kemampuan tersebut, manusia dapat memilih untuk mengikuti ajaran Ahura Mazda yang baik dan murni atau jalan kepalsuan dan kejahatan di bawah Angra Mainyu.
Zoroastrianisme berkisar pada gagasan untuk hidup melalui "pikiran yang baik, kata-kata yang baik, dan perbuatan yang baik". Dikotomi antara baik dan jahat merupakan narasi yang kuat.
Kemurnian juga merupakan konsep yang kuat dalam kepercayaan Zoroaster. Elemen-elemen yang diciptakan oleh Ahura Mazda, seperti air dan api, dipandang sebagai sesuatu yang murni dan tidak boleh dinodai.
Orang Zoroaster melihat alam sebagai sesuatu yang harus dihormati dan diperlakukan dengan cinta. Mereka berusaha keras untuk tidak mencemari sungai atau tanah.
Zoroastrianisme: Dasar Kepercayaan Barat
Menurut Hudson, keberadaan Zoroastrianisme sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap beberapa agama yang ada saat ini.
“Zoroastrianisme mewakili kepercayaan monoteistik pertama tentang satu Tuhan yang tertinggi. Hal ini tidak hanya merupakan hubungan terbesarnya dengan agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga dengan Islam,” kata Husdon.
Dikotomi antara kebaikan dan kejahatan juga merupakan komponen utama yang sama di antara agama-agama ini.
“Konsep-konsep Alkitab seperti Surga dan Neraka, malaikat dan setan, Hari Penghakiman, dan Pengangkatan, semuanya mendapat pengaruh langsung dari Zoroastrianisme,” jelas Hudson.
Pengaruh ini mungkin dapat ditelusuri hingga saat Koresh Agung membebaskan orang-orang Yahudi dari penawanan di Babilonia. Berkat penaklukan Persia, konsep-konsep Zoroastrianisme masuk ke dalam Yudaisme awal.
“Ketika Koresh mengizinkan orang-orang yang selamat untuk kembali ke Yerusalem dan membangun kembali bait suci mereka, mereka menciptakan kitab suci Ibrani, yang mungkin mendapat pengaruh dari ajaran Zoroaster,” jelas Hudson.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR