Nationalgeographic.co.id—Bicara tentang Danau Toba tidak selalu tentang pesona bentang alamnya yang indah untuk dilihat dan diabadikan dalam gambar. Peristiwa geologis kolosal pernah terjadi di sini pada jutaan tahun silam, menyisakan fitur unik yang memiliki cerita sejarah dan budaya suku Batak Toba.
Tibalah saya di Bakkara, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Di sinilah tempat yang sangat kuat secara historis dan kebudayaan bagi masyarakat Batak Toba.
Wisatawan juga dapat melihat langsung ihan batak (Tor putitora), ikan endemik Danau Toba yang kini terancam. Banyak warga yang mengungkapkan bahwa ihan batak sudah sulit dicari di Danau Toba karena keberadaan spesies ikan invasif.
Jika Anda berkunjung ke Bakkara, mungkin punya kesempatan berjumpa dengan ihan batak. Meski bukan di danau, ihan batak berenang bebas di Aek Sitiotio, tempat mata air yang keluar dari perut bumi dan sangat jernih.
Situs mata air ini terbilang unik karena airnya keluar tanpa dapat diketahui di mana titik kemunculannya. Para ahli memperkirakan, Aek Sitiotio terbentuk karena adanya perpotongan litogi antara akuifer tufa toba dan bebatuan dasar di dalamnya.
Masih lestarinya ihan batak di tempat yang ajaib ini sangat penting bagi masyarakat Batak. Pasalnya, ikan ini punya peranan penting bagi ritual sakral, dan menjadi suguhan untuk raja-raja Batak, serta persembahan kepada Tuhan. Hari ini, masyarakat Batak di sekitar Danau Toba berupaya untuk melestarikannya dari ancaman kepunahan.
Istana Sisingamangaraja
Pada masa lampau, Bakkara merupakan kawasan penting bagi masyarakat Batak. Di sinilah Dinasti Sisingamangaraja memusatkan kekuasaannya sebagai pemimpin selama 12 generasi. Jejak kerajaan pedalaman Sumatra Utara itu masih tampak megah berdiri dengan berbagai ornamen dan artefak yang dapat dikunjungi wisatawan.
Sayangnya, hanya beberapa yang asli sebab pernah dibakar pada 1878 dalam kampanye penaklukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Saat itu, masyarakat Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII yang menolak tunduk berjuang melawan penajahan.
Sejak saat itu, istana ini hanya menyisakan beberapa peninggalan sejarah seperti makam para raja Dinasti Sisingamangaraja. Sementara, Raja Sisingamangaraja XII sendiri dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Balige yang gugur demi mempertahankan negerinya dari penjajahan.
Setelah Indonesia merdeka, Istana Sisingamangaraja baru direstorasi oleh pemerintah setempat dan warga sekitar pada 1978.
Istana Sisingamangaraja tidak jauh, hanya berjarak sekitar satu jam perjalanan mobil dari Bandar Udara Silangit. Kami mengunjunginya dalam perjalanan bertajuk Trail of the Kings yang diadakan National Geographic Indonesia dan didampingi oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT).
Setibanya di Istana Sisingamangaraja, kami disambut oleh Markoni. Pria berusia 54 tahun itu yang menjaga situs warisan penting bagi masyarakat Batak. Tempat terebut tidak begitu ramai pada Sabtu, karena hari libur dalam sepekan hanya di hari Minggu. Kami diajaknya melihat beberapa bangunan tradisional Batak yang telah direstorasi dan tengah dipercantik oleh warga setempat.
Ada tiga bangunan tradisional utama di dalam Istana Sisingamangaraja, yakni Ruma Bolon, Ruma Parsaktian, dan Sopo Bolon. Markoni menjelaskan, masing-masing bangunan punya fungsi antara lain sebagai tempat kediaman raja, tempat menerima tamu, dan mengumpulkan hasil bumi.
Saya melihat beberapa pekerja yang merupakan warga asli tengah sibuk mempercantik rumah bolon dan pernak-pernik lainnya, termasuk menorehkan aksara Batak pada ornamen. Salah satu yang menarik dari saya adalah tulisan beraksara Batak di dalam simbol menyerupai matahari.
"12 sudut itu menandakan bahwa simbol itu adalah cap Sisingamangaraja XII. Kalau 11, berarti Sisingamangaraja XI," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kabpuaten Humbang Hasundutan Nelson Lumban Toruan yang juga mendampingi kami. Dia membacakan aksara Batak yang ada di dalamnya.
Tulisan dalam aksara Batak itu bertuliskan: "Ahu sahap tuwan Sisingamangaraja tian Bakara (Aku cap Sisingamangaraja dari Bakara)".
Sementara di sekitarnya terdapat coretan tidak jelas. "Itu kan tiruan [dari cap Sisingamangaraja XII]. Aslinya yang di sekitarnya ini huruf Arab-Melayu," jelas Nelson. Saya mencoba membacanya, tetapi tidak mirip sama sekali dengan huruf Arab-Melayu. Nelson menjelaskan bahwa seharusnya bertuliskan "Inilah cap Maharaja di Negeri Toba Kampung Bakara nama kotanya 1304 H".
"Yah, namanya tiruan. Ini juga yang aksara Batak juga kurang bagus karena yang buat orang sekarang. Masih bagus mereka buat tulisan-tulisan ini, tandanya punya usaha mempelajari aksara Batak," lanjutnya.
Kesakralan Asal Sang Raja
Istana Sisingamangaraja diyakini dibangun sejak abad ke-16 oleh Sisingamangaraja I. Markoni sendiri adalah cicit dari Sisingamangaraja XI. Dia menjelaskan bahwa asal-usul raja yang menyatukan negeri Batak ini berasal dari marga Sinambela yang berkampung halaman di Bakkara.
Menurut legenda, Sisingamangaraja I hadir sebagai pemersatu masyarakat Batak yang terpecah dan penuh kekacauan yang jauh dari ajaran Mulajadi Nabolon (Tuhan dalam mitologi Batak).
Cerita kelahirannya bermula dari keluarga Sinambela dengan suami bernama Bona Ni Onan yang selalu bepergian jauh karena diperintah Mulajadi Nabolon. Sementara istrinya, yakni Boru Pasaribu tinggal di Bakkara. Boru Pasaribu pergi bertapa ke sebuah gua di Tombak Sulusulu, menyendiri memohon dikaruniai anak.
Doa tersebut dikabulkan. Seorang anak lahir ketika Boru Pasaribu sendirian di dalam gua. Kelahiran anak tersebut disambut dengan gempa bumi, sehingga dinamai Manghuntal yang dalam bahasa Batak berarti gemuruh gempa. Anak inilah yang kelak menjadi Sisingamangaraja I, karena sejak kecil dia memiliki sifat yang diyakini akan menjadi raja besar bagi negeri Batak.
Situs kelahiran Sisingamangaraja I atau Tombak Sulusulu, lokasinya tidak jauh dari Istana Raja Sisingamangaraja, tepatnya di sisi lain sungai yang membelah Bakkara. Situs tersebut berupa kawasan hamparan batuan gamping berusia 250 juta tahun silam.
Di antara bebatuan inilah terdapat gua yang diyakini menjadi kelahiran Sisingamangaraja I. Ruangan dalam gua ini bisa muat untuk 5—6 orang dan sering menjadi tempat bagi masyarakat berdoa karena dinilai memiliki kekuatan spiritual yang kuat. Konon, ruangan gua ini jugalah yang menginspirasi masyarakat Batak Toba membangun rumah bolon karena memiliki kesamaan bentuk.
Menariknya, ketika saya menyambangi di Tombak Sulusulu, situs bersejarah bagi masyarakat Batak ini memunculkan fenomena alam berupa tampungan air hujan. Oleh karena itu, setiap wisatawan yang mengunjungi Tombak Sulusulu juga harus mematuhi peraturan adat Batak untuk menjaga keasrian alamnya, termasuk tidak menggunakan alas kaki.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR