Nationalgeographic.co.id—Tentara Salib berhasil merebut kota Yerusalem dianggap menandai akhir dari Sejarah Perang Salib Pertama.
Perang Salib Pertama diprakarsai oleh seruan Paus Urbanus II pada tahun 1095 di Konsili Clermont, menggerakkan gerakan besar-besaran para kesatria dan petani menuju Tanah Suci.
Didorong oleh semangat keagamaan, janji pengampunan dosa dan iming-iming tanah serta kekayaan, ribuan orang memulai perjalanan yang sulit ini.
Pada bulan Agustus 1096, berbagai kelompok Tentara Salib telah memulai perjalanan mereka melintasi Eropa, berkumpul di Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium.
Pada tahun 1097, Tentara Salib mengepung Nicea, sebuah kota yang saat itu berada di bawah kendali Turki Seljuk, dan merebutnya pada bulan Juni.
Kemenangan ini diikuti dengan perjalanan yang melelahkan melalui Anatolia, di mana mereka tidak hanya menghadapi musuh tetapi juga kenyataan pahit berupa kelaparan dan penyakit.
Pertempuran Dorylaeum pada tanggal 1 Juli 1097 merupakan kemenangan penting bagi Tentara Salib, meningkatkan moral mereka dan melemahkan perlawanan Turki di wilayah tersebut.
Pada bulan Oktober 1097, Tentara Salib mencapai dan mengepung Antiokhia. Pengepungan yang berlangsung hingga Juni 1098 dan ditandai dengan pertempuran sengit dan kondisi yang menyedihkan.
Penaklukan Antiokhia merupakan titik balik yang secara signifikan memperkuat posisi Tentara Salib. Namun, perselisihan internal dan perebutan kekuasaan di antara para pemimpin Tentara Salib menandai periode ini, menyoroti interaksi yang kompleks antara motif agama dan ambisi politik.
Perjalanan dari Antiokhia ke Yerusalem tertunda karena perselisihan ini dan kebutuhan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka di wilayah yang baru direbut.
Baru pada bulan Januari 1099 Tentara Salib, yang kini merupakan kekuatan yang tangguh dalam pertempuran dan lebih sadar akan strategi, melanjutkan perjalanan mereka menuju Yerusalem.
Pengepungan Yerusalem tahun 1099
Pengepungan Yerusalem dimulai pada tanggal 7 Juni 1099. Kota ini dibentengi dan dipersiapkan untuk pengepungan yang akan datang, berada di bawah kendali Dinasti Fatimiyah.
Meskipun lelah berperang dan jumlahnya berkurang, Tentara Salib tetap semangat dalam misi keagamaan dan menaklukkan kota.
Namun, Dinasti Fatimiyah tampaknya tidak menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh pasukan Eropa terhadap kota tersebut. Hal ini karena pasukan pertahanannya relatif kecil dan tidak memiliki perlengkapan yang memadai.
Lingkungan yang gersang dan kelangkaan air di sekitar Yerusalem menambah kesulitan mereka. Namun tekad mereka tidak tergoyahkan. Tentara Salib mulai membangun menara pengepungan dan peralatan lain yang diperlukan, menggunakan kayu dari kapal yang dibongkar hingga bahan-bahan lain dari pedesaan sekitarnya.
Pengepungan semakin intensif ketika Tentara Salib menyelesaikan persiapan mereka. Pada tanggal 15 Juli 1099, mereka melancarkan serangan besar-besaran.
Tentara Salib, yang terbagi menjadi dua kontingen utama, menyerang bagian tembok kota yang berbeda.
Satu kelompok, dipimpin oleh Godfrey dari Bouillon, menargetkan tembok utara. Sementara kelompok lainnya, di bawah pimpinan Raymond IV dari Toulouse, menyerang tembok selatan.
Pertempuran berlangsung sengit, kedua belah pihak mengalami banyak korban jiwa. Titik balik terjadi ketika anak buah Godfrey berhasil menembus tembok dan memasuki kota.
Pembantaian setelah Perebutan Kota
Begitu berada di dalam kota, Tentara Salib melakukan pembantaian besar-besaran. Catatan-catatan masa kini dalam sejarah Perang Salib, baik dari kalangan Kristen maupun Muslim, memberikan gambaran mengerikan mengenai kekerasan yang terjadi.
Tentara Salib tampaknya didorong oleh keyakinan bahwa kemenangan mereka adalah amanat ilahi. Mereka tidak menunjukkan belas kasihan terhadap populasi Muslim dan Yahudi di kota tersebut.
Pria, wanita, dan anak-anak dibunuh tanpa pandang bulu. Banyak di antara mereka yang mencari perlindungan di tempat ibadah mereka, Masjid Al-Aqsa dan Tembok Barat.
Jalan-jalan di Yerusalem, kota yang dianggap suci oleh umat Kristen, Yahudi, dan Muslim disebut berlumuran darah.
Skala dan keganasan pembantaian tersebut meninggalkan kesan mendalam baik bagi dunia Islam maupun para pengamat Eropa.
Bagi umat Islam, jatuhnya Yerusalem dan pembantaian yang terjadi setelahnya merupakan kejutan besar dan titik awal perlawanan di masa depan terhadap Tentara Salib.
Peristiwa ini secara signifikan mempengaruhi persepsi umat Islam mengenai Perang Salib, dan sering kali dikutip dalam narasi-narasi selanjutnya sebagai simbol agresi dan pengkhianatan umat Kristen.
Bagi orang Yahudi, pembantaian tersebut merupakan peristiwa tragis lainnya dalam sejarah panjang penganiayaan.
Komunitas Yahudi di Yerusalem yang hidup berdampingan dengan tetangga Muslim mereka, menghadapi akhir yang brutal. Hal ini semakin berkontribusi terhadap diaspora Yahudi dan memperkuat narasi penderitaan dan pengungsian.
Dalam konteks Eropa Kristen, laporan pembantaian tersebut ditanggapi dengan rasa perayaan dan kengerian.
Meskipun ada yang memandang penaklukan Yerusalem sebagai kemenangan ajaib, ada pula yang merasa terganggu dengan laporan pembunuhan tanpa pandang bulu, bahkan di saat kebrutalan seperti itu biasa terjadi dalam peperangan.
Kisah pembantaian tersebut menantang gagasan ideal tentang sejarah Perang Salib sebagai perang suci murni dan menimbulkan pertanyaan moral tentang perilaku Tentara Salib.
Apa yang dilakukan Tentara Salib terhadap Yerusalem?
Tentara Salib, setelah mencapai tujuan utama mereka, bergerak cepat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka di Yerusalem.
Godfrey dari Bouillon dinyatakan sebagai penguasa Yerusalem, meskipun ia menolak gelar raja, dan malah memilih gelar "Pengacara Makam Suci". Keputusan ini mencerminkan motivasi keagamaan di balik Perang Salib.
Negara Tentara Salib ini, bersama dengan negara-negara lain yang didirikan di Levant, mewakili perubahan signifikan dalam perimbangan kekuatan dan memicu konflik yang sedang berlangsung antara kekuatan Kristen dan Muslim di wilayah tersebut.
Bagi dunia Islam, jatuhnya Yerusalem merupakan kejutan yang mendorong evaluasi ulang strategi militer dan politik.
Hal ini pada akhirnya menyebabkan munculnya pemimpin tangguh seperti Saladin, yang memainkan peran penting dalam tahap akhir sejarah Perang Salib.
Hilangnya Yerusalem menjadi katalis bagi penyatuan kekuatan Muslim melawan negara-negara Tentara Salib. Puncaknya pada perebutan kembali Yerusalem oleh Saladin pada tahun 1187, hanya 88 tahun setelah penaklukannya oleh Tentara Salib.
Di Eropa, keberhasilan Perang Salib Pertama dan penaklukan Yerusalem disambut dengan gembira dan digunakan untuk meningkatkan dukungan bagi Perang Salib di masa depan.
Peristiwa tahun 1099 digambarkan sebagai kemenangan ilahi, memperkuat pengaruh Gereja dan kepausan.
Namun, dampak jangka panjang sejarah Perang Salib terhadap Eropa beragam. Meskipun berkontribusi terhadap perluasan perdagangan dan transfer pengetahuan antara Timur dan Barat, hal ini juga menyebabkan peningkatan militerisasi dan warisan intoleransi beragama.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR