Ada orang-orang yang cukup malang hingga terlahir dalam perbudakan. Para ibu budak terpaksa menyerahkan anak-anak mereka kepada pemiliknya segera setelah lahir. Tak jarang juga para pemilik budak mendorong hubungan antar budak agar jumlahnya semakin bertambah.
Menjadi budak bisa melalui tindak kejahatan dan hukuman. Pasalnya, kejahatan tertentu dapat mengakibatkan orang bebas diperbudak sebagai bentuk hukuman di sejarah Romawi kuno.
Dalam kasus ini, negara akan menjual orang tersebut sebagai budak, dan hasilnya biasanya masuk ke kas negara.
Di zaman Romawi Kuno, tidak jarang bayi yang tidak diinginkan ditelantarkan, biasanya di tempat pembuangan sampah di luar kota atau di pedesaan. Bayi-bayi ini bisa dikumpulkan dan dibesarkan untuk menjadi budak.
Budak dalam jumlah besar diperdagangkan di seluruh kekaisaran, dari Inggris di Utara hingga Suriah di Timur.
Pada awal era Kekaisaran Romawi kuno, diyakini bahwa rasio budak dan orang yang dilahirkan bebas di kota Roma adalah 3:1. Kepemilikan budak adalah hal biasa bagi mereka yang berada di kalangan atas masyarakat.
Plutarch memberi tahu kita bahwa konsul Partai Republik, Marcus Licinius Crassus memiliki begitu banyak budak sehingga ia memiliki 500 budak hanya untuk memperoleh dan membangun kembali properti.
Namun tidak jarang pula kaum rakyat jelata, serta mantan budak, juga memiliki beberapa budak. Kepemilikan budak adalah tanda status dan kekayaan yang dicita-citakan hampir semua orang di Roma kuno.
Bukti Perbudakan
Literatur Romawi, sumber epigrafi, dan temuan arkeologis semuanya memberi kita informasi tentang perbudakan di sejarah Romawi kuno.
Surat- surat Pliny the Younger khususnya menyediakan bahan sumber yang sangat baik mengenai perbudakan, namun terdapat juga keterbatasan yang jelas terhadap karya tulis yang dihasilkan oleh anggota elit masyarakat Romawi.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR