Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Romawi disusun berdasarkan kelas dan kekayaan. Dalam catatan sejarah Romawi kuno, status sosial paling rendah adalah para budak.
Di tengah-tengah adalah para penunggang kuda, kaum plebeian, dan orang-orang bebas, dalam urutan itu. Yang menempatkan puncak piramida sosial ada senator dan aristokrat.
Pada masa kejayaan Kekaisaran Romawi, jumlah budak mencapai sekitar 40% dari total populasi. Dalam catatan sejarah Romawi kuno, angka ini menakjubkan yang menyoroti dampak mendalam sistem perbudakan terhadap masyarakat Romawi.
Banyak budak Romawi menjalani kehidupan dengan kekejaman yang tak terbayangkan. Bagaimanapun, hukum Romawi menetapkan budak sebagai properti, bukan manusia.
Namun perbudakan di zaman Romawi kuno menyokong sebagian besar keberhasilan masyarakat, dan warga Roma yang terlahir bebas sebenarnya sangat bergantung pada budak agar dunia mereka dapat beroperasi secara efektif.
Kehidupan Budak di Sejarah Romawi Kuno
Di Roma Kuno, ada beberapa cara utama yang membuat orang bisa menjadi budak. Salah satu yang paling umum adalah menjadi tawanan perang. Perluasan Kekaisaran Romawi dari abad ke-2 SM hingga abad ke-2 M menyebabkan ribuan orang yang ditaklukkan dipaksa menjadi budak.
Beberapa orang dijual sebagai budak. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa alasan. Pembajakan merupakan hal biasa di kawasan Mediterania kuno dan sekitarnya.
Barang-barang yang ditangkap oleh bajak laut kemudian dijual seperti barang rampasan. Orang-orang yang tidak mampu membayar utangnya bahkan bisa menjual dirinya sebagai budak sebagai pengganti pembayaran.
Ada banyak jenis budak yang berbeda dan mereka dapat ditemukan di setiap lapisan masyarakat di Roma kuno. Budak rumah tangga mungkin adalah yang paling umum.
Beberapa di antaranya berpendidikan atau berketerampilan tinggi sehingga banyak dicari. Guru untuk anak-anak, juru masak spesialis, dan bahkan penata rambut bisa mendapatkan harga yang mahal.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR