Nationalgeographic.co.id—Ternyata ada banyak praktik budi daya rumput laut yang tidak ramah lingkungan di Indonesia. Salah satunya di Nusa Tenggara Timur (NTT), apalagi beberapa tahun lalu.
Pada tahun 2020, ketika M. Zia Ul Haq pertama kali datang ke Kabupaten Sabu Raijua di NTT, dia melihat hamparan botol plastik di laut sebagai tempat menanam rumput laut. Dia menjumpai praktik mengikis terumbu karang, menumpas lamun, dan menebang pohon mangrove yang dilakukan oleh para pembudi daya rumput laut di sana.
Zia adalah Savu Sea Program Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Dia menceritakan pengalamannya itu adalah acara Thought Leaders Forum (TLF) yang digelar oleh YKAN di Jakarta pada Rabu, 28 Februari 2024. Tema acara TLF tersebut adalah “Pengembangan Budi Daya Rumput Laut Berbasis Konservasi untuk Mendukung Ekologi dan Ekonomi Masyarakat”.
Selama bertahun-tahun Indonesia telah menjadi produsen rumput laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Salah satu provinsi penghasil rumput laut terbesar di Indonesia adalah NTT.
Sayangnya, banyak praktik budi daya rumput laut di NTT dan provinsi lain yang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan habitat pesisir. Praktik budi daya yang tidak ramah lingkungan itu dapat berdampak pula pada menurunnya manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Untuk mendorong praktik budi daya rumput laut yang lebih ramah lingkungan, YKAN telah menjalankan program untuk membina dan mendampingi kelompok-kelompok pembudi daya rumput laut di NTT. Kini sudah banyak kelompok budi daya yang sudah tidak lagi memakai botol plastik dan tidak lagi merusak terumbu karang, lampun, maupun mangrove,
“Jumlah pembudi daya rumput laut di NTT terus meningkat pesat. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah dengan semakin banyaknya nelayan kecil yang beralih menjadi pembudi daya. Hal itu berdampak pada kelestarian alam. Sebab, masih banyak praktik budi daya rumput laut yang merusak lingkungan, terutama bagi habitat pesisir,” kata Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang Imam Fauzi yang menjadi keynote speaker dalam acara TLF ini.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulastri H. I. Rasyid, juga turut hadir dalam acara ini. Dia menjabarkan sejumlah tantangan yang dihadapi bagi upaya konservasi serta aspek berkelanjutan dan produksi dari rumput laut di NTT.
“Degradasi habitat dari metode budi daya yang merusak, sampah di laut yang dihasilkan oleh kegiatan budi daya, belum menyeluruhnya pengetahuan teknis terkait budi daya, belum optimalnya perencanaan tata ruang untuk budi daya rumput laut, panjangnya rantai pasokan, aspek permodalan, hingga dampak dari perubahan iklim merupakan tantangan utama bagi isu budi daya rumput laut di NTT,” ujar Sulastri.
Jika tantangan tersebut dapat diatasi, Bupati Sabu Raijua Nikodemus Nithanael Rihi Heke percaya, budi daya rumput laut dapat memberikan bukan hanya manfaat ekonomi dan sosial, melainkan juga manfaat bagi alam apabila dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan.
“Tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan pengetahuan pembudi daya dengan bimbingan teknis, mengintegrasikan program budi daya rumput laut ke dalam rencana desa, mengembangkan kebun bibit yang dikelola bersama, pembuatan sumber informasi untuk pembudi daya rumput laut yang mudah diakses, serta bekerja sama dengan lembaga keuangan untuk penyediaan akses modal,” paparnya.
Demi mengatasi tantangan-tantangan budi daya rumput laut di NTT, YKAN telah mengembangkan model budi daya rumput laut berkelanjutan di Desa Oelolot dan Desa Mbueain, Kabupaten Rote Ndao.
Kelompok masyarakat di dua desa tersebut diajak menerapkan praktek terbaik (Best Management Practices), dalam setiap tahapan budi daya sampai pemasaran.
Tahapan ini dimulai dari pengelolaan kebun bibit, pemilihan bibit rumput laut yang unggul, pemilihan lokasi budi daya yang ramah lingkungan, pembuatan penjemuran rumput laut yang sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), serta pemasaran produk rumput laut ke pembeli yang peduli lingkungan. Hal lain yang dilakukan adalah mengintegrasikan budi daya rumput laut ke dalam perencanaan pembangunan di desa, sehingga kegiatan masih bisa terus dilakukan meskipun program sudah selesai.
“Praktik-praktik terbaik budi data rumput laut di dua desa model ini juga telah direplikasi ke desa-desa binaan YKAN yang meliputi Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Sabu Raijua. Bersama pemerintah daerah dan para mitra, YKAN juga memperkuat kapasitas lembaga ekonomi masyarakat desa seperti kios konservasi, koperasi, dan BUMDes melalui berbagai bimbingan teknik,” urai Zia Ul Haq.
Selain itu, YKAN juga melakukan peningkatan kapasitas kelompok perempuan dalam mengolah rumput laut menjadi produk makanan dan minuman. Hal ini menjadi upaya memperluas akses pasar bagi petani rumput laut dan lembaga ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup pada budi daya rumput laut.
Salah satu faktor kunci untuk keberhasilan pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan adalah kemitraan yang komprehensif dan terstruktur.
“Dalam menghadapi tantangan keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, kita tidak bisa berjalan sendiri. Melalui kemitraan antara pemerintah, masyarakat, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah, seperti YKAN, banyak aksi nyata dapat dilaksanakan dalam mentransformasi budi daya rumput laut di NTT. Harapan kami, dampak positif yang telah dicapai dapat menginspirasi lebih banyak pelaku industri rumput laut lain untuk ikut serta secara langsung dalam melestarikan alam dan menyejahterakan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif YKAN Herlina Hartanto.
Hal ini disepakati oleh Direktur Eksekutif Tahija Foundation Trihadi Saptoadi. “Sejak tahun 2017, Yayasan Tahija mendukung budi daya rumput laut yang ramah lingkungan, bertanggung jawab, dan berkelanjutan, serta menerapkan kearifan lokal dalam pemanfaat laut di NTT. Hal ini merupakan komitmen kami dalam menjaga kelestarian alam. Semoga dengan adanya diskusi ini, kolaborasi antarlembaga dapat diperkuat,” harapnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR