Nationalgeographic.co.id—Bayt al-Hikmah atau Baitul Hikmah merupakan perpustakaan besar, pusat penelitian dan ilmu pengetahuan yang didirikan oleh Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad.
Terkadang, Baitul Hikmah juga disebut sebagai Rumah Kebijaksanaan dan menjadi simbol kemajuan sejarah peradaban Islam.
Namun akhir dari Baitul Hikmah begitu mengenaskan. Tak menghilangkan jejak, pusat pengetahuan ini dibakar oleh bangsa Kekaisaran Mongol yang menyerang Bagdad pada 1258. Sebagian lainnya dibuang ke Sungai Tigris.
Berdirinya Baitul Hikmah bertepatan dengan kebangkitan Bagdad sebagai ibu kota dunia Islam dan penerimaan budaya Persia ke istana Arab pada masa itu.
Lokasi Bagdad dipilih oleh khalifah Abbasiyah kedua, Al-Mansur (memerintah 754–775), untuk menggantikan Damaskus, yang statusnya sebagai ibu kota Bani Umayyah, dinasti yang digulingkan oleh mereka.
Namun Bagdad, yang terletak di dekat bekas ibu kota Sasan, Ctesiphon, juga merupakan jantung dari populasi mayoritas Persia.
Alih-alih menindas sisa masyarakat Sasan, Al-Mansur menyerapnya ke dalam struktur birokrasi baru dan menggambarkan pemerintahan Abbasiyah sebagai kebangkitan kembali Kekaisaran Sasan.
Baitul Hikmah bertugas sebagai perpanjangan tangan birokrasi khalifah dan tampaknya mencontoh praktik Sasanian sebelumnya.
Orang Persia di era awal Islam, yang menulis dalam bahasa Arab, menunjukkan bahwa Baitul Hikmah secara harfiah berarti rumah kebijaksanaan mengikuti gaya bangsawan Sasan.
Sastra Persia Pertengahan juga merujuk langsung pada penyimpanan buku-buku yang berkaitan dengan agama Zoroastrian, sejarah Sasanian, dan pengetahuan ilmiah untuk keperluan medis dan administrasi.
Ruang penyimpanan disebut ganj (perbendaharaan), sebuah istilah yang setara dengan bahasa Arab khizanah.
Koleksi Baitul Hikmah, seperti koleksi para pendahulu Sasaniannya, dimaksudkan untuk mencerminkan keberlangsungan warisan Persia pada dinasti yang berkuasa saat itu.
Baitul Hikmah, seperti Bagdad sendiri, menjadi kaya raya di bawah pemerintahan Harun Al-Rashid (786–809) dan anaknya, Al-Ma'mun (memerintah 813–833).
Khalifah dan istananya dibanjiri kekayaan dari upeti yang dibayarkan ke seluruh kekaisaran. Kemegahan Bagdad kala itu diabadikan dalam Seribu Satu Malam.
Pemerintahan Harun juga merupakan puncak kekuasaan aristokrasi Persia, dengan keluarga dinasti Barmakid yang menjabat sebagai kepala administrator (wazir) kekaisaran.
Perlindungan terhadap seni dan ilmu pengetahuan tidak hanya mengalir dari khalifah tetapi juga dari para wazir dan pejabat istana lainnya. Al-Ma'mun juga memperluas aktivitas yang dilakukan di perpustakaan.
Baitul Hikmah juga melahirkan orang-orang hebat. Diantaranya, Banu Musa bersaudara, tiga sarjana Persia membuat kemajuan penting di bidang mekanika dan menghasilkan sebuah karya The Book of Ingenious Devices (850 M).
Muḥammad ibn Musa al-Khwarizmi, seorang matematikawan dan astronom serta dianggap sebagai bapak aljabar, mungkin adalah tokoh paling terkenal yang berafiliasi dengan Baitul Hikmah saat ini.
Perpustakaan menjadi simbol usaha ilmiah dan kejayaan kekaisaran pada periode awal Islam. Kota Bagdad sering kali dibayangkan sebagai pusat beasiswa dan kolaborasi bagi para pemikir terhebat. Beberapa sejarawan bahkan menggambarkan Baitul Hikmah sebagai akademi.
Meskipun keilmuan dan penerjemahan memang berkembang pesat di Bagdad pada abad ke-8 dan ke-9 dan sebagian aktivitas tersebut dilakukan terkait dengan perpustakaan, hanya ada sedikit bukti bahwa Baitul Hikmah adalah pusat dari tren ini.
Dinasti-dinasti Islam lainnya juga membangun perpustakaan besar mereka sendiri. Salah satunya, Dar Al-Ilm (Rumah Pengetahuan) di Kairo menandai puncak kekuasaan Kehalifahan Fatimiyah di Mesir.
Perpustakaan-perpustakaan semacam itu juga menjadi pusat pemerintahan sejarah peradaban Islam.
Akhir dari Baitul Hikmah
Setelah invasi Bagdad oleh bangsa Mongol, mereka merusak lemari perpustakaan pribadi dan umum yang berisi buku, manuskrip, peta, observatorium.
Mereka membakar sebagian besar koleksinya sementara yang lain dibuang ke sungai Tigris, ada yang mengatakan bahwa bangsa Mongol membangun lumbung mereka menggunakan buku, bukan tanah liat.
Hulagu telah menghancurkan hampir semua buku yang telah diterjemahkan atau ditulis oleh para ulama dan ilmuwan terkemuka, karya-karya yang digunakan untuk menyebarkan budaya dan pengetahuan serta kebijaksanaan di kalangan umat Islam dan non-Muslim telah lenyap menjadi debu.
Akibatnya dunia menyaksikan runtuhnya salah satu perpustakaan yang melestarikan intelektualitas dan peradaban manusia pada masa itu yang berdampak buruk pada warisan sejarah peradaban Islam.
Peninggalan perpustakaan rumah kebijaksanaan terbuang sia-sia dan barat tidak menemukan kecuali sumber-sumber Arab untuk memperoleh warisan peradaban manusia purba.
Invasi bangsa Mongol dan penghancuran perpustakaan menandai jatuhnya Bagdad dan akhirnya runtuhnya Kekhalifahan Abbasiyah yang membuat dunia Islam berada dalam krisis di tahun-tahun mendatang.
Source | : | britannica,islamicity.org |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR