Nationalgeographic.co.id—Berdasarkan sejarah dunia kuno, ketika Aleksander Agung meninggal di Babilonia pada tahun 323 SM tubuhnya tidak mulai menunjukkan tanda-tanda pembusukan selama enam hari penuh.
Bagi orang-orang Yunani kuno, hal ini menegaskan apa yang mereka semua pikirkan tentang raja muda Makedonia itu. Mereka meyakini bahwa Aleksander mungkin bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewa.
Aleksander Agung berdiri sebagai salah satu pemimpin militer paling ikonik dalam sejarah dunia kuno. Pada tahun 336 SM, ia menggantikan ayahnya, Philip II sebagai raja Makedonia di usia 20 tahun.
Dia kemudian memulai serangkaian kampanye militer agresif untuk mengamankan wilayah yang sudah berada di bawah kendalinya dan memperluas kekuasaannya ke arah timur.
Sebagai raja, Aleksander berhasil menaklukkan Kekaisaran Persia pertama, memperluas wilayah Makedonia hingga ke Pakistan dan India modern.
Selama kampanye tersebut, ia menyebarkan kebudayaan Yunani ke seluruh Timur Tengah, meningkatkan perkembangan kebudayaan Helenistik setelah kematiannya pada tahun 323 SM.
Karier militer Aleksander menonjol karena banyaknya kemenangannya, bahkan ketika pasukannya kalah jumlah.
Sejarawan juga mencatat bagaimana dia dikabarkan selalu bersikeras memimpin pasukannya dari garis depan pertempuran.
Akibatnya, ia menderita banyak luka serius—di antaranya, sayatan parang di kepala, luka sayatan pedang di paha, peluru ketapel tertancap di bahunya, dan anak panah yang menembus paru-parunya hingga diduga hampir membunuhnya.
Baru berusia 32 tahun, dia telah menaklukkan sebuah kerajaan yang membentang dari Balkan hingga Pakistan modern.
Ketika siap menghadapi invasi lain, Aleksander jatuh sakit dan meninggal setelah 12 hari menderita yang menyiksa.
Sejak itu, para sejarawan memperdebatkan penyebab kematiannya, mulai dari malaria, tifus, dan keracunan alkohol hingga pembunuhan yang dilakukan oleh salah satu saingannya.
Teori Penyebab Kematian Aleksander Agung
Namun dalam satu teori, seorang sarjana dan dokter praktik menyatakan bahwa Aleksander mungkin menderita kelainan neurologis Guillain-Barre Syndrome (GBS), yang menyebabkan kematiannya.
Dia juga berpendapat bahwa orang-orang mungkin tidak langsung menyadari tanda-tanda pembusukan pada tubuh karena satu alasan sederhana—karena Aleksander belum meninggal.
Sebagian besar teori lain tentang penyebab kematian Alexander berfokus pada demam dan sakit perut yang dideritanya pada hari-hari sebelum kematiannya.
"Faktanya, dia juga diketahui menderita kelumpuhan progresif, simetris, dan menaik selama sakitnya. Meskipun dia sakit parah, dia tetap compos mentis (sepenuhnya mengendalikan kemampuan mentalnya) sampai sebelum kematiannya," ujar Katherine Hall, dosen senior di Dunedin School of Medicine di Universitas Otago, Selandia Baru.
Hall berpendapat bahwa GBS, kelainan autoimun yang jarang namun serius di mana sistem kekebalan menyerang sel-sel sehat di sistem saraf. Kombinasi gejala mungkin terdengar lebih masuk akal dibandingkan teori lain yang dikemukakan mengenai kematian Aleksander.
Aleksander mungkin tertular kelainan tersebut dari infeksi Campylobacter pylori, bakteri umum pada saat itu.
Menurut Hall, Alexander kemungkinan besar menderita varian GBS yang menyebabkan kelumpuhan tanpa menyebabkan kebingungan atau ketidaksadaran.
Kematian Aleksander Agung
Meskipun para sejarawan telah lama berspekulasi tentang apa yang sebenarnya membunuh Aleksander Agung, Hall berpendapat bahwa dia mungkin tidak mati ketika orang-orang mengira dia meninggal.
Dia berpendapat bahwa semakin parahnya kelumpuhan yang diderita Alexander, serta fakta bahwa tubuhnya membutuhkan lebih sedikit oksigen saat mati, berarti pernapasannya menjadi kurang terlihat.
Karena pada zaman dahulu, dokter mengandalkan ada tidaknya napas, bukan denyut nadi, untuk menentukan apakah seorang pasien masih hidup atau mati.
Hall yakin Aleksander mungkin telah dinyatakan meninggal sebelum dia benar-benar meninggal.
“Saya ingin merangsang perdebatan dan diskusi baru dan mungkin menulis ulang buku sejarah dengan berargumen bahwa kematian Aleksander yang sebenarnya terjadi enam hari lebih lambat dari yang diperkirakan sebelumnya,” kata Hall dalam sebuah pernyataan dari Universitas Otago.
“Kematiannya mungkin merupakan kasus paling terkenal dari kematian Aleksander, pseudothanatos atau diagnosis kematian yang salah, pernah tercatat dalam sejarah dunia kuno.” ujarnya dikutip History.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR