Nationalgeographic.id - Selama tujuh abad, Kekaisaran Ottoman berdiri sebagai imperium penting dalam sejarah dunia. Kekaisaran yang berpusat di Konstantinopel ini memilik sejarah yang panjang dan dipenuhi pelbagai penaklukkan di Eropa Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
Mulanya, Kekaisaran Ottoman hanya memiliki dataran kecil di Turki modern pada akhir abad ke-13. Kawasan Turki telah menghadapi berbagai kekuasaan, yang terakhir adalah Kesultanan Rum.
Namun, satu-satunya penghalang terbesar sebagai upaya kekuasaan Islam yang sedang berkembang adalah Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium yang bercokol di Konstantinopel. Kelak, pada pertengahan abad ke-15, Kekaisaran Ottoman berhasil merebut kota tersebut, dan menjadikannya ibukota.
Asal Turki Ottoman "Asli"
Kekaisaran Ottoman tumbuh Ogut, yang menjadi ibu kota pertama mereka pada 1299. Kawasan mereka hanya sejumput tanah kecil di barat laut Anatolia. Kawasan ini dihuni suku Turkoman atau Turki Oghuz. Suku ini telah ada di Turki pada abad kedelapan Masehi dan membentuk konfederasi suku antara laut Aral dan Laut Kaspia.
Pelbagai sumber, baik catatan Islam dan Kristen pada abad ke-10, mencatat bahwa Turkoman adalah suku etnis Turki yang telah memeluk agama Islam. Mereka berbeda dengan orang Turki Buddha atau perdukunan yang umum pada abad pertengahan.
Lars Johanson, Christiane Bulut dan Otto Harrassowitz Verlag dalam Turkic-Iranian Contact Areas: Historical and Linguistic Aspects mengungkap bahwa suku Turki cika bakal Kekaisaran Ottoman ini mengalami perpindahan. Sebelumnya berada di timur Laut Kaspia. Perpindahan mereka terjadi sejak perluasan wilayah Seljuk dari abad ke-11 dan berlangsung hingga abad ke-15.
Osman I, pendiri dan raja pertama Kekaisaran Ottoman berasal dari salah satu klan suku Turki Kayi Orghuz. Leluhurnya bermigrasi dari tanah airnya di Asia Tengah akibat invasi Kekaisaran Mongol, dan menetap ke Anatolia.
Klan Kayi ini mendapatkan tanah di Ogut, tidak jauh dari Ankara dan berbatasan dengan Bizantium. Muhammad Farid, politisi Mesir akhir abad ke-19 dan penulis buku sejarah, dalam Tārīkh al-Dawlah al-ʻAlīyah al-ʻUthmānīyah menjelaskan bahwa Sultan Rum Kayqubad memberikan tanah karena kesetiaan dan kemampuan bertempur membela kesultanan.
Wilayah kekuasaan ini setara dengan kadipaten yang dipimpin Ertugrul Ghazi, ayah Osman I. Kadipaten ini bertindak bebas dengan kerap mengganggu Kekaisaran Bizantium dan menjarah harta.
Semua dilakukannya atas nama Sultan. Sejatinya, tindakan Ertugrul bertujuan untuk memperkuat pengaruhnya secara politik. Dia juga berhasil menaklukkan kota dan desa, sehingga kekuasaan klan Kayi semakin meluas.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR