“Mereka memakan dagingnya dan meninggalkan tulangnya, yang kemudian dikubur secara massal,” kata Laulau. Laulau menunjuk ke sebuah batu monolitik di dekatnya di lokasi yang merupakan tempat ritual eksekusi para tahanan. Bukti arkeologis dari tulang manusia yang disembelih di rangkaian pulau menunjukkan bahwa praktik tersebut sudah kuno, .
Namun Nakoro berpendapat kemungkinan besar tulang-tulang tersebut berasal dari mereka yang tewas pada epidemi campak tahun 1875. Patrick Nunn, seorang arkeolog di Universitas Sunshine Coast Australia, sependapat.
“Yang pasti, ini adalah kuburan massal dari abad ke-19 ketika populasi Fiji dihancurkan oleh penyakit campak dan influenza. Mereka tidak memiliki resistensi alami terhadap penyakit tersebut,” katanya.
Anak-anak sangat rentan. Penyakit ini berasal lebih dari 5.000 tahun yang lalu dari ternak di Mesopotamia dan tidak mencapai Pasifik Selatan sampai kedatangan orang Eropa. Jumlah orang yang meninggal begitu besar sehingga para penyintas yang lemah harus berjuang untuk menguburkan mereka.
Nakoro bermaksud mengirim tulang-tulang itu ke laboratorium Nunn untuk dipelajari. Analisis tersebut harus mampu memberikan data penting mengenai usia, jenis kelamin, dan penyebab kematian korban. Juga petunjuk kapan mereka meninggal. Kanibalisme akan terlihat jelas jika para peneliti mendeteksi bekas penjagalan pada tulang. Sementara penyakit dapat diidentifikasi melalui studi molekuler pada sisa-sisa tersebut.
Sampai saat itu, Laulau terus mengawasi temuan berharga tersebut. Ia melindungi tulang dari kerusakan atau pencurian. Namun suaminya menolak untuk ikut bersamanya dalam kewaspadaannya.
“Dia mengatakan kepada saya, 'Saya tidak akan tidur di sini,'” katanya sambil tersenyum. “Ini adalah nenek moyang Anda, tetapi saya berasal dari provinsi lain—mereka bisa saja menyerang saya!’”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR