Nationalgeographic.co.id - Pantai pulau terbesar di Fiji, Vitu Levu, dikelilingi terumbu karang sehingga menarik wisatawan. Wisatawan bisa berenang dan menikmati keindahan pantainya. Namun, hanya beberapa kilometer ke daratan, penduduk desa setempat menemukan kuburan massal langka. Konon keberadaan kuburan itu menjelaskan masa penuh gejolak dan mengerikan dalam sejarah kepulauan Pasifik Selatan ini.
Jenazah manusia tersebut ditemukan pada tanggal 29 Februari di puncak benteng bukit besar. Benteng itu menghadap ke Sungai Sigatoka yang mengular dari dataran tinggi terjal Vitu Levu.
Jenazah-jenazah yang ditemukan belum dianalisis. “Namun penduduk setempat berspekulasi bahwa mereka adalah korban ritual kanibalisme yang telah lama dilakukan selama peperangan suku,” tulis Andrew Lawler di laman National Geographic.
Namun, para arkeolog menduga orang yang meninggal kemungkinan besar disebabkan oleh epidemi campak. Wabah dahsyat ini secara tragis ditularkan oleh raja Fiji setelah kunjungannya ke Australia pada tahun 1875. Campak menewaskan satu dari tiga rakyat Fiji.
Fiji terdiri dari lebih dari 300 pulau vulkanik dan terletak ribuan kilometer di utara Selandia Baru. Suku Lapita—nenek moyang orang Polinesia—menetap di sini sekitar 3.000 tahun yang lalu. Penjajah kemudian tiba dari kepulauan Melanesia di barat serta pos terdepan Polinesia di timur seperti Samoa dan Tonga.
1.000 tahun yang lalu, Fiji merupakan persimpangan perdagangan penting di Pasifik Selatan.
Perang dan epidemi
Pada tahun 1789, Kapten William Bligh menjadi orang Eropa pertama yang memetakan pantai Fiji. Setelah itu, para pedagang serta misionaris Amerika dan Eropa menyusul pada awal dan pertengahan abad ke-19. Mereka menjuluki wilayah tersebut sebagai “Kepulauan Kanibal” dan berusaha untuk memberantas ritual kanibalisme.
Dalam ritual kanibalisme di Fiji, pihak yang menang akan memakan pihak yang kalah dalam peperangan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kekuatan dari korbannya.
Para pendatang mengeksploitasi teripang di wilayah tersebut untuk diekspor ke Tiongkok. Sementara para pengusaha perkebunan asal Inggris dan Amerika berdatangan mencari lahan untuk memproduksi kapas. Pergolakan agama dan ekonomi menyebabkan meningkatnya konflik di antara berbagai klan dan suku di Fiji. Saat itu, Inggris dan Amerika Serikat juga berupaya mencaplok kepulauan subur tersebut.
Krisis ini memuncak pada tahun 1867. Saat itu misionaris Thomas Baker berusaha mengubah suku di sepanjang Sungai Sigatoka menjadi Kristen. Dia dikatakan telah membuat marah penduduk setempat dengan menyentuh kepala pemimpin suku mereka. Tentu saja, hal ini dianggap tabu yang sangat serius.
Baker dan tujuh orang Fiji yang menganut agama Kristen pun dipotong-potong, dibakar, dan dimakan oleh penduduk Desa Vitu Levu. Sandal kulit misionaris dipajang di Museum Fiji di ibu kota Suva. Kematian Baker, penggerebekan penduduk asli, dan pembunuhan dua pemukim kulit putih menyebabkan bencana lain. Kelompok kulit putih yang main hakim sendiri—termasuk Ku Klux Klan—berkeliaran di pulau-pulau untuk membalas dendam.
Kekacauan tersebut akhirnya memicu perang. Perang itu terjadi antara penduduk dataran tinggi Fiji yang masih berpegang pada cara-cara tradisional dan Inggris dengan Fiji dan sekutu Kristen kulit putih di pesisir.
Salah satu faksi tradisionalis bermarkas di Tavuni, yang berlokasi strategis di atas tikungan Sungai Sigatoka. Penggalian dan sejarah lisan menunjukkan bahwa seorang imigran Tonga menetap di Tavuni sekitar tahun 1800. Ia membangun rumah seorang kepala suku dan sekitar enam puluh bangunan lainnya di punggung bukit yang tinggi dan menikah dengan perempuan setempat.
Pada awal tahun 1870-an, penduduk desa di wilayah tersebut memihak suku dataran tinggi Kai Colo dalam perang gerilya. Mereka melawan pemerintah bersatu pertama Fiji yang dipimpin oleh raja Kristen Cakobau.
Pada tahun 1874, raja menyerahkan kendali atas Fiji kepada Kerajaan Inggris dan kemudian berlayar ke Sydney untuk merayakan aneksasi tersebut. Di sana dia dan pihak diplomatik terjangkit penyakit campak. Saat mereka kembali ke Fiji, virus menyebar dengan cepat ke populasi yang tidak memiliki kekebalan. Sekitar 40.000 penduduk asli Fiji tewas dalam epidemi yang mengerikan ini.
Sementara itu, tentara Inggris dan pasukan Cakobau melancarkan serangan brutal untuk mengalahkan Kai Colo dan sekutunya. Selama pertempuran tahun 1876, Tavuni dibakar dan para pemberontak melebur ke dataran tinggi. Setelah ditinggalkan, benteng yang kokoh itu dengan cepat berubah menjadi hutan lebat.
Penemuan yang tidak disengaja
“Semuanya adalah hutan,” kata Lanieta Laulau, yang tumbuh di sebuah desa dekat Tavuni. “Kami biasa datang ke sini untuk mengumpulkan kayu bakar, tapi kami tidak tahu apa-apa tentang masa lalunya.”
Pada tahun 1980-an, penduduk setempat membersihkan situs tersebut. Para arkeolog mengungkap puluhan fondasi rumah dan dinding pelindung yang mengelilingi lereng curam agar dapat diakses oleh wisatawan. Laulau termasuk di antara mereka yang membantu menebang semak belukar. Ia kini menjabat sebagai penjaga monumen bersejarah nasional, yang disewakan kepada pemerintah oleh suku setempat.
Pada bulan Februari, ketika kepala suku setempat meninggal, penduduk desa memilih untuk menguburkannya di titik tertinggi di Tavuni. Saat menggali kuburan, sejumlah besar sisa kerangka manusia muncul. “Ada tumpukan tulang,” kata Laulau kepada Lawler. “Ini bukanlah kuburan satu orang,” tambahnya. “Semuanya campur aduk.”
Laulau keberatan dengan keputusan penduduk desa untuk menggali kuburan di situs bersejarah. Namun ia bernegosiasi untuk menyimpan lusinan tulang untuk analisis ilmiah. Sisanya dikuburkan kembali. Pada kunjungannya di bulan Maret, dia mengambil kantong plastik bening dari kantornya di pusat pengunjung dan dengan hati-hati meletakkan tulang-tulang yang ditemukan di atas meja piknik di luar. Mereka termasuk tengkorak manusia, tulang rahang dengan gigi utuh, dan banyak tulang lengan dan kaki.
Hanya dua kuburan massal yang ditemukan di kepulauan ini, menurut Elia Nakoro, arkeolog senior di Museum Fiji. Namun jenazahnya dikuburkan kembali tanpa analisis. Keduanya berada di sekitar benteng bukit. Beberapa bagian kerangka, tambahnya, ditemukan di luar kuburan tradisional. Hal ini merupakan bagian dari praktik membunyikan permukiman dengan tulang untuk menakut-nakuti penyusup.
Tavuni hanya dihuni oleh penduduk tradisional Fiji. Laulau berargumen bahwa orang-orang yang tewas kemungkinan besar adalah pejuang yang kalah dan dikonsumsi oleh para pembela benteng.
“Mereka memakan dagingnya dan meninggalkan tulangnya, yang kemudian dikubur secara massal,” kata Laulau. Laulau menunjuk ke sebuah batu monolitik di dekatnya di lokasi yang merupakan tempat ritual eksekusi para tahanan. Bukti arkeologis dari tulang manusia yang disembelih di rangkaian pulau menunjukkan bahwa praktik tersebut sudah kuno, .
Namun Nakoro berpendapat kemungkinan besar tulang-tulang tersebut berasal dari mereka yang tewas pada epidemi campak tahun 1875. Patrick Nunn, seorang arkeolog di Universitas Sunshine Coast Australia, sependapat.
“Yang pasti, ini adalah kuburan massal dari abad ke-19 ketika populasi Fiji dihancurkan oleh penyakit campak dan influenza. Mereka tidak memiliki resistensi alami terhadap penyakit tersebut,” katanya.
Anak-anak sangat rentan. Penyakit ini berasal lebih dari 5.000 tahun yang lalu dari ternak di Mesopotamia dan tidak mencapai Pasifik Selatan sampai kedatangan orang Eropa. Jumlah orang yang meninggal begitu besar sehingga para penyintas yang lemah harus berjuang untuk menguburkan mereka.
Nakoro bermaksud mengirim tulang-tulang itu ke laboratorium Nunn untuk dipelajari. Analisis tersebut harus mampu memberikan data penting mengenai usia, jenis kelamin, dan penyebab kematian korban. Juga petunjuk kapan mereka meninggal. Kanibalisme akan terlihat jelas jika para peneliti mendeteksi bekas penjagalan pada tulang. Sementara penyakit dapat diidentifikasi melalui studi molekuler pada sisa-sisa tersebut.
Sampai saat itu, Laulau terus mengawasi temuan berharga tersebut. Ia melindungi tulang dari kerusakan atau pencurian. Namun suaminya menolak untuk ikut bersamanya dalam kewaspadaannya.
“Dia mengatakan kepada saya, 'Saya tidak akan tidur di sini,'” katanya sambil tersenyum. “Ini adalah nenek moyang Anda, tetapi saya berasal dari provinsi lain—mereka bisa saja menyerang saya!’”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR