Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan telah mengembangkan teknologi bertenaga surya yang mengubah air asin menjadi air minum bersih yang bebas dari penyakit berbahaya yang bisa menular melalui air. Jika klaim mereka benar, hal ini mungkin merupakan langkah besar menuju penyediaan air yang andal dan aman bagi negara-negara berkembang dan negara-negara lain.
Akses terhadap air bersih adalah sesuatu yang kita anggap remeh di negara maju. Kebanyakan dari kita hampir tidak memikirkan apakah air yang mengalir dari keran, air yang muncul seketika itu, aman atau tidak. Namun, hal ini tidak berlaku untuk semua orang.
Faktanya, sekitar 40 persen populasi global tidak memiliki akses terhadap air bersih yang memadai. Yang lebih buruk lagi, UN-Water memperkirakan sekitar 4 miliar orang mengalami kelangkaan air yang parah setidaknya selama satu bulan dalam setahun. Dan, dengan meningkatnya krisis iklim, permasalahan ini akan semakin buruk.
Oleh karena itu, kebutuhan akan metode baru untuk menyediakan air bersih dan andal bagi negara dan wilayah yang berisiko terus meningkat. Dan sebuah penelitian terbaru dari King’s College London mungkin menawarkan sedikit harapan dalam upaya ini.
Tim tersebut, bekerja sama dengan MIT dan Helmhotz Institute for Renewable Energy Systems, telah menciptakan sistem baru yang menghasilkan tingkat air yang konsisten dengan menggunakan tenaga surya.
Menurut studi baru mereka, proses ini 20 persen lebih murah dibandingkan metode tradisional dan dapat digunakan di lokasi pedesaan di seluruh dunia. Klaim ini cukup kuat dan terdengar seperti tindakan alkimia modern.
“Teknologi ini dapat memperluas sumber air yang tersedia bagi masyarakat di luar sumber air tradisional,” kata Dr Wei He, Dosen Senior bidang Teknik di King’s College London dalam sebuah pernyataan, “dan dengan menyediakan air dari sumber air asin yang tidak terkontaminasi, dapat membantu memerangi kelangkaan air atau keadaan darurat yang tidak terduga ketika pasokan air konvensional terganggu, misalnya seperti wabah kolera yang baru-baru ini terjadi di Zambia."
Jadi bagaimana cara kerjanya? Sistem baru ini menggunakan membran khusus untuk menyalurkan ion garam ke dalam aliran air garam. Ini kemudian dapat dipisahkan dari airnya, membiarkannya segar dan dapat diminum.
Terlebih lagi, tim telah mengembangkan cara untuk secara fleksibel menyesuaikan voltase dan laju aliran air asin melalui sistem. Hal ini memungkinkan mereka untuk menyesuaikan sinar matahari apa pun yang tersedia tanpa mengurangi jumlah keseluruhan air minum yang dihasilkan.
Tim peneliti awalnya mengumpulkan informasi di desa Chelleru, dekat Hyderabad, India. Mereka kemudian menggunakan informasi ini untuk menciptakan kembali kondisi yang sama di sebuah desa di New Mexico, di mana mereka berhasil mengkonversi hingga 10 meter kubik air tawar—cukup untuk memenuhi kebutuhan 3.000 orang setiap hari. Proses tersebut terus berlanjut terlepas dari apakah matahari tertutup awan atau hujan.
“Dengan menawarkan alternatif yang murah dan ramah lingkungan yang dapat dioperasikan secara mandiri, teknologi kami memungkinkan masyarakat memanfaatkan sumber air alternatif (seperti akuifer dalam atau air asin) untuk mengatasi kelangkaan air dan kontaminasi pada pasokan air tradisional,” ujarnya.
“Teknologi ini dapat memperluas sumber air yang tersedia bagi masyarakat di luar sumber air tradisional dan dengan menyediakan air dari sumber air asin yang tidak terkontaminasi, dapat membantu memerangi kelangkaan air atau keadaan darurat yang tidak terduga ketika pasokan air konvensional terganggu, misalnya seperti wabah kolera yang baru-baru ini terjadi di Zambia.”
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR