Nationalgeographic.co.id—Percobaan pembunuhan terhadap presiden Amerika Serikat bukanlah barang baru. Sepanjang sejarah dunia, ada 16 rencana percobaan pembunuhan presiden AS, dan tujuh di antaranya dilakukan: empat presiden benar-benar terbunuh dan tiga presiden lainnya terluka.
Presiden AS pertama yang tewas terbunuh adalah Abraham Lincoln pada 14 April 1865 di Ford's Theater, Washington, D.C. Aktor John Wilkes Booth menjadi pelaku, dan ditembak oleh pihak keamanan beberapa hari setelah kematian Lincoln.
Motif Booth diduga berhubungan dengan alasan politik. Dua tahun sebelumnya, selama Perang Saudara, Lincoln mengeluarkan Proklamasi Emansipasi yang mendukung hak-hak kulit hitam. Setelah pembunuhan tersebut, kursi kepresidenan diisi oleh Wakil Presiden Andrew Johnson.
Yang terbaru adalah Donald Trump, mantan presiden, mantan presiden ke-45 dan kandidat dalam Pilpres AS 2024. Telinga Trump terluka akibat tembakan percobaan pembunuhan saat kampanyenya di Pennsylvania pada 13 Juli 2024.
Pelaku bernama Thomas Matthew Crooks, berhasil dilumpuhkan Counter Assault Team (CAT) setelah penembakan. Motif masih ditelusuri oleh pihak berwenang.
Trump pernah menjadi target percobaan pembunuhan pada September 2017, ketika berkunjung ke Dakota Utara. Pelaku bernama Gregory Lee Leingang berhasil ditangkap dan diinterogasi.
Presiden Joe Biden, yang kini sedang menjabat, pernah menjadi target pada 23 Mei 2023 di Gedung Putih. Pelaku bernama Sai Varshith Kandula berhasil ditangkap, yang mengagumi Nazi. Kandula sendiri memang berniat membunuh presiden dan makar.
Keinginan perubahan politik dalam sejarah dunia
Sejatinya, tidak hanya presiden yang pernah menjadi target pembunuhan dalam sejarah dunia. Para politisi di AS, terutama beberapa waktu belakangan, juga menjadi target masyarakat yang ekstrem terhadap suatu paham politik.
Menurut laporan Washington Post, karena meningkatnya kekerasan bersenjata di dalam negeri, pengeluaran untuk keamanan DPR dan Senat meningkat 500 persen antara tahun 2020 dan 2022.
Baca Juga: AS Alihkan Utang Indonesia Rp546 Miliar untuk Pelestarian Terumbu Karang
Rachel Kleinfield, peneliti kekerasan politik dari Carnegie Endowment for International Peace berpendapat di Journal of Democracy. Ia menulis, kekerasan menjadi lebih umum di negara-negara yang memiliki pemilihan yang sangat kompetitif untuk menggeser keseimbangan politik.
Kompetisi politik ini melibatkan partisan yang menjadi identitas sosial bagi masyarakat, terutama ketika ada kendala lembaga yang lemah dalam menangani kekerasan.
Bruce Hoffman dan Jacob Ware menulis di War on the Rocks dengan pendapat, pembunuhan politik menjadi lebih umum belakangan karena munculnya "akselerasionisme". Istilah ini mengacu pada upaya yang disengaja untuk memicu kekacauan politik dan mempercepat perubahan politik. Strategi ini sangat menonojol di kalangan ekstremis.
Akses senjata yang mudah di AS
Seringnya kasus penembakan di AS juga berhubungan dengan mudahnya akses mendapatkan senjata api. Pada upaya pembunuhan terhadap Trump, pelaku menggunakan senjata api rifle semi-otomatis AR-15.
Todd Frankle, jurnalis Washington Post dalam wawancara di NPR, mengatakan bahwa AR-15 adalah senjata yang sangat populer, terutama dalam keramaian orang. Dia memperkirakan satu dari 20 pemilik senjata api di AS memiliki AR-15. Senjata ini juga sering digunakan dalam ragam kasus penembakan massal yang kerap mewarnai AS.
Bagi pendukung paham politik sayap kanan, AR-15 menjadi "senapan perang revolusioner" dan menjadi "simbol kebebasan". Senjata ini dipromosikan sebagai memusuhi kalangan kiri di AS, terang Frankle.
Sejarah dunia mencatut, kepemilikan senjata api sudah mendarah daging dalam masyarakat AS dan kerap diperdebatkan. Kemudahan akses mendapatkan senjata api untuk pribadi dijamin sebagai hak dalam Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat.
Hari ini, diperkirakan sepertiga orang dewasa di AS memiliki senjata api secara pribadi. Survei Pew Research Center pada September 2023 mengungkapkan, 61 persen masyarakat AS merasa terlalu mudah untuk mendapatkan senjata api secara legal.
Dalam survei yang sama, enam dari 10 orang dewasa di AS menginginkan peraturan senjata api yang lebih ketat. Hal itu tentu berhubungan dengan keselamatan masyarakat. Sebab, kemudahan akses dapat menyebabkan maraknya penyalahgunaan senjata api seperti penembakan massal.
Source | : | Washington Post,NPR,Journal of Democracy |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR