Menurut catatan sejarah desa, ada sekitar 11 korban tewas dari gempa besar yang mengerikan di Desa Sengon, di mana di antaranya masih terdapat dua korban cacat yang juga masih alami trauma berat.
"Trauma, kalau ditanya tentang gempa dulu masih suka nangis, karena keingat kejadian dulu," imbuh Widodo pada penulis. Akibat gempa itu, kedua korban mengalami patah kaki yang membuatnya kesulitan berjalan sampai kini.
Ia mengimbuh, "sekitar sebelas orang yang tidak selamat karena dia terjebak. Gempa memang tidak mematikan, tapi bangunan itulah yang sebenarnya mematikan, karen belum adanya edukasi tanggap bencana."
Ibu Sumi, salah satu pedagang di lokasi sekitar bumi perkemahan juga menambahkan jika pada "waktu itu suasananya ngeri, tapi alhamdulillah semua keluarga (saya) sudah di luar karena sudah pergi ke sawah."
Widodo menyambung jika "Desa Sengon memiliki potensi besar terhadap gempa bumi karena berada pada Sesar Opak dan Sesar Dengkeng yang terus ditera BMKG sehingga kewaspadaannya terus ditingkatkan."
Meski tidak merenggut banyak korban jika dibandingkan dengan Bantul yang terdampak paling parah, namun kejadian atas bencana silam belum hilang." Walau saat ini warga yang sudah teredukasi lebih tanggap terhadap bencana," terusnya.
Banyak di antara rumah warga yang kembali dibangun, menempatkan daun pintu keluar untuk menyesuaikan standar kewaspadaan terhadap bencana. "Kalau-kalau terjadi gempa lagi, mereka hanya mendorong pintu keluar, bukan malah menariknya ke dalam."
Namun, bagaimana pun, gempa bumi yang menerjang Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk di Lindhu Gedhe, Desa Sengon, Kec. Prambanan, Klaten, masih menjadi salah satu gempa paling mematikan di dunia.
Tercatat sekitar 5.778 hingga 6.234 korban tewas, sedangkan 38.568 hingga 137.883 luka-luka dengan total kerugian mencapai Rp. 29.2 triliun. Dalam catatan Skala intensitas Mercalli, Bantul dan Klaten masuk dalam Skala IX yang berarti terdampak hebat.
Setelahnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Monumen Lindhu Gedhe pada 26 Mei 2007—tepat setahun setelah musibah—yang menjadi harapan besar demi bangkitnya para warga untuk menata kembali kehidupan.
Pada monumen itu, ada pesan penting yang tertulis dalam prasasti berjudul Tetenger, istilah Jawa yang berarti 'Tanda Pengingat.'
Terdapat pesan yang menggugah bertuliskan dalam Jawa yang memiliki arti:
"28 (bulan) bakda mulud 1939 (tahun Jawa)
Hari Sabtu Wage
Ada gempa besar
Di daerah Jateng dan DIY
Banyak rumah dan bangunan rusak
Para warga hidup susah
Jangan pasrah, ayo bangkit
Membangun kembali keadaan dan bangunan
Semoga Allah, memberi keselamatan dan kemakmuran
Berkah, rahmat dan hidayah."
Pesan ini menjadi satu titik balik untuk menata kembali kehidupan yang sempat koyak, porak poranda dihancurkan bencana. Namun, Rahmad Widodo meyakini, setidaknya warga Desa Sengon kini sudah lebih cepat pulih dari keterpurukan masa silam.
Source | : | UGM News |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR