Nationalgeographic.grid.id—Di antara angin sepoi yang menerpa tenda-tenda di bumi perkemahan, serta penampilan perbukitan gemilang di sekelilingnya, Lindhu Gedhe di Desa Sengon, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, menyimpan cerita panjang.
Lindhu Gedhe, dalam Jawa berarti Gempa Besar. Tepat berada sekira 50 meter dari tenda-tenda bumi perkemahan, terdapat sebuah monumen yang mengekalkan ingatan. Ingatan ke masa-masa susah tentang suatu tragedi besar, bencana alam yang mengerikan.
Pada 2006, musibah besar menerpa Yogyakarta dan beberapa daerah sekitarnya. Gempa bumi berkekuatan 5,9 SR—6,3 Magnitudo—telah meluluhlantakkan rumah-rumah dan bangunan penting.
Selepas fajar yang menghempas embun, pada 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB, bumi berguncang hebat. Tak pelak membuat orang-orang berhamburan keluar dari tenangnya pagi di bawah atap rumahnya untuk menyelamatkan diri.
Nahas, di antara yang selamat, ada pula mereka yang tak sempat untuk mengucap perpisahan dengan keluarga, saudaranya, atau sahabatnya. Harus pergi lebih cepat, dan meninggalkan yang terkasih.
Berita kehilangan dan lolongan tangis menghias kengerian musibah yang menghancurkan. Gempa berkekuatan tinggi berhasil merobohkan tembok-tembok batu yang katanya kekar, ambruk dalam hitungan detik.
Dr. Gayatri Indah Marliyanti, ST. M.Sc., seorang pakar Gempa Bumi Teknik Geologi UGM menuturkan dalam portal berita UGM menyebut bahwa "sumber gempa bumi berada pada dataran Sesar Opak yang membentang wilayah Yogyakarta."
Gayatri menuturkan kepada portal berita UGM yang ditulis Hakam dalam artikelnya berjudul Reflections and Lessons from the 2006 Jogja Earthquake yang diterbitkan pada 4 Juni 2020.
"Gempa diakibatkan adanya subduksi lempeng samudra dan lempeng benua pada daratan Sesar Opak. Dan kedalamannya hanya 12,5 Km di bawah tanah, sehingga dampaknya mencapai sekitar VI-VII MMI,” sambung Gayatri.
"Lindhu Gedhe kan dari bahasa Jawa, biar jadi penanda adanya gempa besar di sini" tutur Rahmad Widodo kepada kontributor National Geographic Indonesia saat kunjungan ke lokasi.
Rahmad Widodo telah berkontribusi besar untuk mengedukasi para warga yang ada di Desa Sengon, termasuk yang berada di sekitar Monumen Lindhu Gedhe. Ia pun sekaligus menjadi Ketua Destana (Desa Tangguh Bencana).
Menurut catatan sejarah desa, ada sekitar 11 korban tewas dari gempa besar yang mengerikan di Desa Sengon, di mana di antaranya masih terdapat dua korban cacat yang juga masih alami trauma berat.
"Trauma, kalau ditanya tentang gempa dulu masih suka nangis, karena keingat kejadian dulu," imbuh Widodo pada penulis. Akibat gempa itu, kedua korban mengalami patah kaki yang membuatnya kesulitan berjalan sampai kini.
Ia mengimbuh, "sekitar sebelas orang yang tidak selamat karena dia terjebak. Gempa memang tidak mematikan, tapi bangunan itulah yang sebenarnya mematikan, karen belum adanya edukasi tanggap bencana."
Ibu Sumi, salah satu pedagang di lokasi sekitar bumi perkemahan juga menambahkan jika pada "waktu itu suasananya ngeri, tapi alhamdulillah semua keluarga (saya) sudah di luar karena sudah pergi ke sawah."
Widodo menyambung jika "Desa Sengon memiliki potensi besar terhadap gempa bumi karena berada pada Sesar Opak dan Sesar Dengkeng yang terus ditera BMKG sehingga kewaspadaannya terus ditingkatkan."
Meski tidak merenggut banyak korban jika dibandingkan dengan Bantul yang terdampak paling parah, namun kejadian atas bencana silam belum hilang." Walau saat ini warga yang sudah teredukasi lebih tanggap terhadap bencana," terusnya.
Banyak di antara rumah warga yang kembali dibangun, menempatkan daun pintu keluar untuk menyesuaikan standar kewaspadaan terhadap bencana. "Kalau-kalau terjadi gempa lagi, mereka hanya mendorong pintu keluar, bukan malah menariknya ke dalam."
Namun, bagaimana pun, gempa bumi yang menerjang Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk di Lindhu Gedhe, Desa Sengon, Kec. Prambanan, Klaten, masih menjadi salah satu gempa paling mematikan di dunia.
Tercatat sekitar 5.778 hingga 6.234 korban tewas, sedangkan 38.568 hingga 137.883 luka-luka dengan total kerugian mencapai Rp. 29.2 triliun. Dalam catatan Skala intensitas Mercalli, Bantul dan Klaten masuk dalam Skala IX yang berarti terdampak hebat.
Setelahnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Monumen Lindhu Gedhe pada 26 Mei 2007—tepat setahun setelah musibah—yang menjadi harapan besar demi bangkitnya para warga untuk menata kembali kehidupan.
Pada monumen itu, ada pesan penting yang tertulis dalam prasasti berjudul Tetenger, istilah Jawa yang berarti 'Tanda Pengingat.'
Terdapat pesan yang menggugah bertuliskan dalam Jawa yang memiliki arti:
"28 (bulan) bakda mulud 1939 (tahun Jawa)
Hari Sabtu Wage
Ada gempa besar
Di daerah Jateng dan DIY
Banyak rumah dan bangunan rusak
Para warga hidup susah
Jangan pasrah, ayo bangkit
Membangun kembali keadaan dan bangunan
Semoga Allah, memberi keselamatan dan kemakmuran
Berkah, rahmat dan hidayah."
Pesan ini menjadi satu titik balik untuk menata kembali kehidupan yang sempat koyak, porak poranda dihancurkan bencana. Namun, Rahmad Widodo meyakini, setidaknya warga Desa Sengon kini sudah lebih cepat pulih dari keterpurukan masa silam.
Source | : | UGM News |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR