Nationalgeographic.co.id – Krisis ketersediaan air bersih merupakan isu global yang dialami oleh hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengkategorikan krisis air menjadi dua jenis, yaitu krisis air absolut dan krisis air secara ekonomi.
Krisis air absolut terjadi ketika jumlah air yang terdapat pada suatu wilayah tidak mampu mencukupi populasinya. Kondisi ini umumnya terjadi karena adanya ledakan populasi dan perubahan iklim yang memicu kekeringan di daerah kering atau semi kering.
Sedangkan krisis air secara ekonomi merujuk pada kelangkaan air akibat kurangnya infrastruktur atau pengelolaan air di suatu daerah. Sayangnya, Indonesia menghadapi dua jenis krisis air tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Bidang Manajemen Sumber Daya Air Firdaus Ali.
Baca Juga: Upaya Memuliakan dan Melestarikan Air Untuk Kehidupan Lebih Baik
“Kita (Indonesia) sedang menuju krisis air yang cukup berat. Ini dampak dari perubahan iklim, cuaca anomali, hingga bertambahnya populasi yang menyebabkan (sumur) resapan semakin berkurang,” jelas Firdaus kepada National Geographic Indonesia.
Contoh nyata krisis air dapat dilihat dari fenomena yang terjadi di Bali. Menurut temuan organisasi nirlaba berbasis Bali, JANMA, setidaknya ada tiga tantangan pengelolaan air di Pulau Dewata tersebut, yaitu penurunan muka air tanah disusul intrusi air laut ke lapisan bawah tanah yang mengandung air, polusi air permukaan, serta perubahan tata guna lahan.
Tantangan pengelolaan pun tersebut membuat sebagian wilayah Bali mengalami banjir saat musim hujan, tetapi kekurangan air saat musim kemarau.
Peran sektor swasta diperlukan
Meski krisis air adalah tantangan yang serius, pemerintah Indonesia memiliki peluang untuk melakukan perbaikan dan pengembangan pengelolaan air. Misalnya, dengan keterlibatan sektor swasta untuk mewujudkan konservasi air melalui berbagai program dan inovasi.
Salah satu contoh program dan inovasi yang dilakukan untuk mengatasi tantangan akses air bersih adalah pembangunan Master Meter bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Medan dan Surabaya oleh USAID IUWASH Tangguh bersama The Coca-Cola Foundation (TCCF). Tujuan dibangunnya Master Meter adalah untuk pemenuhan kebutuhan air bersih dengan biaya yang lebih terjangkau.
Baca Juga: Menilik Inovasi Master Meter, Solusi Air Bersih Bagi Warga Medan, Sumatera Utara
Di sisi lain, upaya konservasi air juga dilakukan melalui pembangunan enam embung tadah hujan oleh Yayasan Obor Tani yang turut menggandeng TCCF di wilayah pertanian yang rentan mengalami kekeringan.
Selain itu, JANMA bersama TCCF juga turut berkontribusi dengan membuat sumur resapan di empat desa yang terancam kekeringan di Kabupaten Badung, Bali.
Koordinator Program organisasi nirlaba berbasis Bali, JANMA, I Gde Suarja mengatakan bahwa sumur resapan tersebut mampu menampung hingga 8 meter kubik air hujan.
“Agar fungsi sumur resapan berjalan terus-menerus, seluruh pemilik dari lahan yang dibangun sumur resapan juga dilatih bagaimana merawat sumur resapan. Dengan perawatan, maka umur pakai dan efektivitas sumur resapan tinggi. Kami berharap akan semakin banyak pihak membangun sumur resapan agar Bali tidak kehabisan air tanah,” kata I Gde Suarja.
Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Manajemen Sumber Daya Air Firdaus Ali menyambut baik berbagai dukungan program konservasi air yang dilakukan oleh berbagai pihak LSM lokal bersama TCCF.
“Inisiatif untuk membangun sumur resapan dan penyambung, misalnya, ini wujud tanggung jawab korporasi yang luar biasa. Mengapa saya bilang luar biasa? Karena ini bisa menjadi contoh bagi korporasi lain,” kata Firdaus.
Menyorot Peran Sektor Swasta dalam Menjamin Ketersediaan Air Bersih di Indonesia
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Yussy Maulia |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR