Nationalgeographic.co.id—Satu per satu nelayan gantung jala. Pemandangan demikian jamak terlihat di desa-desa pesisir di Pulau Buru, di Kepulauan Maluku, setiap tahunnya.
Gantung jala yang dimaksud bukan rutinitas nelayan menjemur jaring sepulang dari melaut dan besoknya mengambil jaring itu lagi guna menangkap ikan. Gantung jaring di sini berarti pensiun dini dari profesi nelayan.
Yayasan Jaga Laut Indonesia (Jala Ina), sebuah organisasi nirlaba dengan misi menjaga dan melestarikan wilayah kepulauan Indonesia demi keberlanjutan ruang hidup bersama, telah meneliti perubahan jumlah nelayan di 12 desa pesisir di tiga kecamatan di Pulau Buru.
Kedua belas desa itu mencakup Waplau, Lamahan, Samalagi, Waeura, Namsina, Hatawano, Waelihang, Waepoti, Wamlana, Waepure, Waemangit, dan Bara—yang berlokasi di Kecamatan Waplau, Fena Leisela, dan Air Buaya di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Hasilnya, antara tahun 2021 dan 2023, jumlah nelayan di 12 desa itu mengalami penurunan tajam. Total jumlah nelayan di selusin desa itu anjlok hingga sekitar setengahnya dalam kurun waktu dua tahun saja.
Sebagai contoh, jumlah nelayan di Desa Samalagi pada tahun 2021 adalah 30 orang, lalu menukik menjadi 15 orang pada 2023. Adapun nelayan di Desa Namsina dan Hatawano yang pada 2021 masih berjumlah 80 dan 100 orang, pada 2023 jeblok menjadi 20 dan 27 orang.
Manajer Riset Jala Ina, Yastrib Akbar Sowakil, menjelaskan ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan menukiknya jumlah nelayan di Pulau Buru. Faktor internal mencakup terbatasnya akses terhadap teknologi, minimnya alat tangkap mumpuni guna menghadapi kondisi perairan saat ini, dan buruknya manajemen keuangan masing-masing nelayan.
Adapun faktor eksternal mencakup krisis iklim, melambungnya harga bahan bakar minyak (BBM), bantuan pemerintah yang tak tepat sasaran, dan tak adanya sarana prasarana penunjang seperti tempat pelelangan ikan, hingga rendahnya harga jual ikan.
Secara khusus, Akbar juga menyoroti masifnya kegiatan penambangan emas ilegal di Gunung Botak di Pulau Buru. Aktivitas tambang rakyat ilegal di gunung dekat pesisir itu telah menyedot perhatian banyak nelayan untuk beralih profesi.
Sebanyak 44,4% persen nelayan di 12 desa tadi telah berganti profesi menjadi penambang emas ilegal. “Jadi masyarakat nelayan di sana, mereka berbondong-bondong melakukan aktivitas pertambangan,” ujar Akbar.
Baca Juga: Nelayan Jual Perahu: Lautan Tak Lagi 'Kolam Susu' Akibat Tambang Pasir Laut
Profesi terbanyak lainnya yang dipilih para mantan nelayan adalah petani bawang (24,4%), pedagang (13,3%), dan pengumpul batu (11,1%).
Kegiatan penambangan emas ilegal menggunakan merkuri di Gunung Botak juga telah mencemari wilayah pesisir dan laut sehingga kegiatan perikanan nelayan tangkap yang tersisa semakin terancam. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), organisasi nirlaba lainnya, juga pernah menyoroti ancaman kegiatan ekstraktif di Indonesia secara nasional.
Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut Tahun 2021, jumlah nelayan tangkap di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam rentang 2010-2019. Pada 2010, jumlah nelayan tangkap tercatat sebanyak 2,16 juta orang, sedangkan pada 2019 jumlahnya menjadi 1,83 juta orang.
Menurut catatan WALHI, penurunan jumlah nelayan di Indonesia didorong oleh dua hal, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Sebagai pemuda yang besar di Pulau Buru, Akbar heran mengapa kegiatan penambangan emas ilegal di Gunung Botak belum juga ditutup secara permanen. Sementara itu, sudah bertahun-tahun nelayan di sana belum juga memiliki tempat pengolahan dan pelelangan ikan yang memadai.
“Nelayan adalah identitas dari sebuah negara yang selalu ‘gembar-gembor’ tentang potensi maritimnya. Jika benar pemerintah berpihak pada masyarakat pesisir dan nelayan, sudah saatnya mengambil langkah nyata, sebelum mereka menggantung jaring dan meninggalkan perahu-perahu di bibir pantai,” tegas Akbar.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR