Nationalgeographic.co.id—Prometheus merupakan sebuah mitos dari Yunani kuno yang terbuka untuk diinterpretasikan dari sudut pandang masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Tema kejatuhan eksistensial manusia, bagi sebagian besar tradisi spiritual sering dikaitkan dengan nostalgia akan kenangan kehidupan surgawi yang tak lagi dapat dijangkau.
Bagi orang Yunani kuno, para dewa memiliki sifat-sifat yang mirip dengan manusia. Oleh karena itu, banyak penulis awal Yunani kuno percaya akan adanya kesesuaian perilaku antara dunia fana dan kahyangan para dewa yang abadi.
Marius Cucu dan Oana Lenta dalam The Human Existential
Regression and the Myth of Prometheus yang dimuat jurnal Postmodern Openings mengungkap bahwa para dewa Yunani kuno punya sifat seperti manusia dan cenderungan negatif seperti cemburu, marah, sembarangan, iri hati, dan terutama keserakahan.
Dalam puisi Works and Days, Hesiod, salah satu penulis Yunani kuno menganggap bahwa pandangan ini bisa saja keliru. "Gambaran sifat keilahian ini terlalu diantropomorfisasikan," ungkap mereka.
"Melalui bahasa mitologis, Hesiod menggambarkan beberapa situasi simbolik yang penuh konflik antara umat manusia dan kehadiran ilahi."
Konflik ini tercermin dalam mitologi Prometheus, ia digambarkan sebagai pelindung umat manusia sekaligus tokoh yang membangkang terhadap para dewa Olimpus dan pemimpinnya, Zeus.
"Dalam upayanya untuk menunjukkan sisi gelap keilahian para dewa, Prometheus memberikan pilihan kepada Zeus untuk memilih antara kualitas atau kuantitas dalam ritual pengorbanan," jelasnya.
Untuk ritual pengorbanan, Prometheus menyembelih seekor sapi dan menata dagingnya menjadi dua bagian yang sangat berbeda.
Pada bagian pertama, Prometheus menempatkan potongan daging sapi terbaik, tetapi membugkusnya dengan lapisan perut dan bagian yang tak menarik.
Sementara itu, pada bagian kedua, ia menempatkan tulang-tulang kering, tetapi membungkusnya dengan lapisan lemak yang tebal dan tampak menggoda. Ketika melihat dua pilihan tersebut, Zeus ditawari untuk memilih bagian mana yang ia inginkan sebagai persembahan.
Baca Juga: Goethe, Prometheus, dan Pemberontakan Tertinggi Umat Manusia
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR