Nationalgeographic.co.id—Inilah lima senjata paling mematikan yang digunakan dalam perang Yunani kuno. Senjata-senjata tersebut digunakan di medan perang dengan tujuan yang berbeda-beda.
Beberapa diadopsi sebagai senjata utama, sedangkan yang lain dibawa ke pertempuran sebagai cadangan.
Senjata Yunani kuno yang digunakan dalam pertempuran jarak dekat (melee) cenderung mencerminkan dan menentukan formasi yang digunakan oleh berbagai unit tempur.
Sebagai contoh, kelebihan dan kekurangan formasi phalanx hoplite tradisional berbeda dari variasi Makedonia yang muncul kemudian karena karakteristik senjata utama yang digunakan dalam formasi-formasi tersebut.
Bagaimanapun, senjata Yunani kuno hadir dalam berbagai desain yang sangat praktis. Tanpa senjata-senjata ini, orang Yunani mungkin tidak dapat berkembang di kawasan Mediterania kuno yang penuh peluang, tetapi juga penuh ancaman.
Dory (Tombak)
Tombak adalah senjata paling umum dalam persenjataan Yunani kuno. Bahkan, tombak adalah senjata yang paling sering digunakan dalam peperangan historis hingga pengenalan senjata api.
Senjata standar seorang hoplite Yunani kuno (infanteri berat Yunani kuno) adalah dory. Istilah "dory" pertama kali dicatat dalam karya Homer dan sering digunakan oleh para pahlawan dalam Iliad selama Perang Troya sebagai senjata utama.
Dalam sebuah makalah akademis yang diterbitkan pada 2020 dijelaskan, “Dory sangat bernilai bagi hoplite, dan keterampilan menggunakannya adalah alasan utama kesuksesan mereka.”
Hoplite biasanya memiliki perlengkapan lebih berat dibandingkan musuh non-Yunani dan bertempur dalam formasi rapat yang disebut phalanx.
Baca Juga: Senjata Supranatural yang Paling Mematikan di Mitologi Hindu
Dory digunakan terutama untuk menusuk, namun cukup aerodinamis untuk dilempar seperti lembing jika diperlukan. Ujung tombaknya berbentuk daun pipih dan terbuat dari besi atau perunggu, tergantung periode zamannya. Dory juga memiliki paku di bagian belakang yang disebut sauroter, yang dapat dipakai jika ujung tombak utama patah.
Gagang tombak ini terbuat dari kayu abu atau cornel dan biasanya memiliki panjang antara dua hingga tiga meter.
Sarissa menjadi senjata utama infanteri berat Makedonia setelah diadopsi oleh Filipus II, ayah Alexander Agung. Senjata ini adalah tombak atau pike yang sangat panjang dan digunakan oleh pasukan phalangite Makedonia dalam formasi phalanx.
Sarissa memiliki panjang sekitar empat hingga enam meter, jauh lebih panjang dibandingkan dengan dory. Beratnya juga lebih dari dory, yaitu sekitar 5,5 hingga 6,5 kilogram, sementara dory hanya berbobot antara 0,9 hingga 1,8 kilogram.
Keunggulan sarissa adalah jangkauannya yang lebih jauh dibandingkan tombak atau senjata lain yang biasanya digunakan dalam peperangan Yunani kuno.
Namun, kelemahannya adalah bahwa unit yang menggunakan sarissa cenderung lebih sulit bergerak karena berat dan panjangnya.
Untuk mengatasi kekurangan ini, Alexander Agung dan para ahli strategi militer lainnya sering mengerahkan infanteri ringan dan kavaleri untuk melindungi sisi pasukan utama prajurit bertombak.
Setelah kematian Alexander, sarissa tetap digunakan sebagai senjata utama infanteri di negara-negara penerusnya seperti Kekaisaran Seleukid dan Kerajaan Ptolemeus. Senjata ini juga diadopsi oleh berbagai negara kota dan liga Yunani kuno.
Xiphos adalah istilah umum yang digunakan oleh orang Yunani kuno untuk menyebut pedang. Namun, dalam historiografi modern, istilah ini lebih merujuk pada pedang pendek satu tangan dengan dua sisi tajam.
Bagi sebagian besar prajurit Yunani kuno, pedang seperti xiphos merupakan senjata sekunder, sementara tombak menjadi senjata utama.
Secara rata-rata, xiphos memiliki panjang antara 45 hingga 60 sentimeter, meskipun orang-orang Sparta dikabarkan menggunakan pedang yang lebih pendek sekitar 30 sentimeter.
Pedang yang sangat pendek ini mungkin bermanfaat ketika dua formasi phalanx bertemu dalam situasi "othismos", yang berarti "dorongan".
Ini terjadi ketika dua formasi phalanx bertemu dalam jarak yang sangat dekat, dan para hoplite saling mendorong dengan perisai besar mereka, mirip dengan scrum dalam rugby.
Variasi xiphos yang lebih pendek mungkin lebih mudah diselipkan di antara celah pada bagian musuh yang kurang terlindungi dalam jarak sangat dekat. Namun, aspek pertempuran hoplite ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan sejarawan.
Kopis, kadang juga disebut sebagai machaira, adalah pedang satu sisi yang digunakan oleh infanteri dan kavaleri Yunani kuno. Ciri khasnya adalah lekukan ke depan yang membuatnya menjadi senjata potong yang kuat.
Lekukan ini menjadikan kopis cocok untuk memotong dan menusuk, sehingga sangat berguna bagi kavaleri. Terutama saat mereka melawan prajurit infanteri yang berdiri lebih pendek di bawah kuda mereka.
Siapa pun yang terkena tebasan ke bawah dari kopis pasti akan menghadapi kesulitan besar.
Prajurit dan penulis Yunani kuno, Xenophon, pernah menulis, "Saya merekomendasikan kopis daripada xiphos, karena dari ketinggian punggung kuda, tebasan machaira akan lebih berguna dibandingkan tusukan xiphos."
Xyston adalah tombak panjang yang digunakan untuk menusuk dengan panjang sekitar 3,5 hingga 4,25 meter (11 hingga 14 kaki).
Para sejarawan percaya bahwa senjata ini biasanya dipegang dengan dua tangan dan dapat digunakan dengan pegangan atas atau bawah, tergantung pada situasinya.
Seperti dory, xyston memiliki ujung tombak di kedua sisinya. Ujung sekunder ini berguna jika ujung utama patah, dan juga mungkin berfungsi sebagai penyeimbang untuk meningkatkan keseimbangan senjata.
Dalam bahasa Yunani kuno, istilah xyston kemungkinan besar merupakan istilah umum untuk tombak atau bahkan lembing.
Sebagai contoh, sejarawan Yahudi, Flavius Josephus, pernah menyebut pilum Romawi (sejenis lembing lempar) sebagai xyston.
Namun, dalam historiografi modern, xyston biasanya merujuk pada senjata yang sering digunakan oleh kavaleri Yunani kuno.
Mitologi Dayak Kalimantan: Orangutan Sebagai Spesies Istimewa Bagi Masyarakat Adat
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR