Nationalgeographic.co.id—Penulis Jepang Hiromi Kawakami menyampaikan pidato yang menggugah dalam pembukaan 2024 JILF x JakTent, yang merupakan hasil kolaborasi antara Jakarta International Literary Festival 2024 dengan Jakarta Content Week.
Dalam pidato tersebut, Kawakami tidak hanya berbagi pengalamannya sebagai seorang penulis, tetapi juga merenungkan peran sastra dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Dalam sebuah pidato yang sarat dengan emosi Hiromi Kawakami yang terkenal dengan gaya tulisannya yang halus dan mendalam, mengajak para hadirin dalam perjalanan refleksi yang mendalam.
Berbicara di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (27/11/2024), Kawakami berbagi kisah pribadi, pengalaman menulis, dan pandangannya tentang peran sastra dalam menghadapi perubahan dunia yang cepat.
Kurangnya 'sorotan' bagi para penerjemah
Kawakami mengawali pidatonya dengan membahas pentingnya peran penerjemah dalam menyampaikan nuansa dan makna sebuah karya sastra.
Wanita yang lahir di Jepang 65 tahun lalu tersebut menyebut kehadirannya di Jakarta diawali peran dari Hanina Zakiyyah dan Faira Ammadea yang telah menerjemahkan novelnya ke dalam Bahasa Indonesia.
Ia menyoroti bagaimana para penerjemah kerap kali kurang mendapatkan sorotan dibandingkan dengan penulisnya. Bahkan, meski muncul di sampul buku, nama para penerjemah ini tidak terlihat sejelas nama penulis.
"Penerjemah harus membaca seakurat mungkin apa yang penulis, yang bahasa dan budayanya berbeda dengan mereka, coba ungkapkan, dan jenis suara apa yang mereka coba ciptakan dalam teks," ujar Kawakami.
Mengutip pengalamannya menerjemahkan "Ise Monogatari", sebuah karya klasik Jepang, ia menekankan bahwa penerjemahan bukanlah sekadar mengganti kata, tetapi juga melibatkan pemahaman mendalam tentang budaya dan konteks sejarah.
Baca Juga: 2024 JILF x JakTent: Sarana Menggarap Isu-isu Sastra Mutakhir
"Menulis novel panjang membutuhkan waktu satu setengah tahun rata-rata, tetapi meskipun karya ini hanya sepertiga dari panjang novel yang biasanya saya tulis, saya membutuhkan waktu dua kali lipat untuk menerjemahkannya," papar wanita yang juga kerap menulis puisi tersebut.
Ia kemudian mencontohkan kesulitan dalam menerjemahkan konsep "kazahana" yang dalam bahasa Jepang berarti "salju yang jatuh dengan jarang" bisa memiliki beragam arti dan nuansa emosi yang berbeda. Namun, penerjemah bisa menangkapnya dengan baik sesuai dengan maksud si penulis.
Bencana Fukushima dan novel yang berubah
Penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai "Istana Naga" tersebut kemudian beralih ke pembahasan tentang bagaimana peristiwa dunia nyata dapat mempengaruhi karya sastra. Ia menceritakan bagaimana gempa bumi dan tsunami Fukushima pada tahun 2011 telah mengubah pandangannya tentang novel pertamanya, "Kamisama".
Novel yang awalnya menggambarkan hubungan yang hangat antara seorang manusia dan seekor beruang, harus direvisi untuk mencerminkan realitas baru yang suram, di mana kontaminasi radioaktif mengubah lanskap dan kehidupan masyarakat.
Ia lalu menjelaskan bagaimana novel "Kamisama" lalu mengalami perubahan sebanyak 100 karakter, dari total 4.000 karakter yang ada di novel tersebut. Perubahan tersebut dilakukan sebagai responnya terhadap bencana di Fukushima.
Namun, "Meskipun hanya sekitar 100 karakter yang berbeda, pemandangan yang terungkap sangat berbeda dari novel aslinya," ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa membaca novel berarti mengapresiasi dan menilai seberapa baik karya tersebut bertahan menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat.
"Menulis novel berarti terus mengamati perubahan-perubahan ini dan mencoba mengungkapkan sesuatu yang akan tetap abadi, terlepas dari perubahan zaman," tegas Kawakami.
Pertanyaan berulang selama 13 tahun
Pengarang "Sensei No Kaban, Hanya Ruang Kosong Nan Sepi Yang Terbentang" tersebut lalu kembali mengulas tentang bagaimana bencana nuklir di Fukushima pada 2011 telah membuatnya terjebak dalam pertanyaan yang sama selama 13 tahun.
Baca Juga: JILF 2024: Kata-kata dan Tindakan Selaras pada Sastra Ekologi
"Saya terus bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya bisa saya lakukan untuk mereka yang menjadi pengungsi akibat bencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi," paparnya.
Pertanyaan yang akhirnya beririsan dengan tema JILF tahun ini, "F/ACTA: Words & Actions Aligned." Bagi Kawakami, tema tersebut sangat mirip dengan pertanyaannya selama 13 tahun terakhir tentang mereka yang tidak dapat kembali ke kampung halamannya akibat bencana di Fukushima.
Ditambah dengan kondisi dunia yang menurutnya bergejolak, seperti pandemi bertahun-tahun, invasi Rusia ke Ukraina, serangan Israel ke Gaza, serta pergeseran lanskap politik dunia, Kawakami merasa dihadapkan pada tantangan yang sulit untuk meresponsnya ke dalam tulisan.
Namun, pada akhirnya Kawakami menyadari bahwa tidak kalah penting untuk seorang penulis memperhatikan kehidupan seorang atau beberapa individu ke dalam konteks peristiwa global yang besar.
"Dunia ini besar. Tetapi merekalah, setiap individu, yang membentuk dunia," ujarnya.
Ia pun lalu berbagi kisah tentang seorang pria yang merawat taman bunga di depan stasiun di Fukushima, meskipun daerah tersebut masih terkontaminasi radiasi.
"Mengingat berarti terus memikirkannya," kata Kawakami. "Saya akan terus memikirkannya, dan terus memikirkannya lagi. Meskipun saya bukan orang yang terlibat, saya tidak akan membiarkannya begitu saja seolah-olah itu adalah masalah orang lain."
Dalam kesimpulannya, Kawakami menegaskan bahwa sastra memiliki peran penting dalam membantu kita memahami dunia yang kompleks dan penuh perubahan.
Sebagai seorang novelis, ia berkomitmen untuk terus menggali emosi dan pengalaman manusia, meskipun dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang dunia.
"Saya percaya bahwa yang dapat saya lakukan adalah menghargai dan melihat hal-hal ini, dan berdiri teguh di kaki saya serta menatapnya dengan mantap, tanpa terbawa oleh suara-suara keras atau arus mayoritas," ujar Kawakami.
Tentang JILF x JakTent 2024
Jakarta International Literary Festival (JILF) 2024 kembali hadir dengan semangat baru. Tahun ini, memasuki penyelenggaraan keempat sejak 2019, JILF berkolaborasi dengan Jakarta Content Week (JakTent) untuk menghadirkan sebuah perhelatan sastra dan budaya yang relevan dengan isu-isu terkini.
Mengambil tema "F/acta: Words & Actions Aligned on Eco-Literature" yang sejalan dengan tema JakTent "Shared Culture, Shared Future", JILF 2024 menyoroti pentingnya peran sastra dalam merespons tantangan lingkungan yang semakin mendesak.
Seperti yang disampaikan oleh Anton Kurnia, Direktur JILF, kita hidup di era Antroposen di mana aktivitas manusia telah memberikan dampak signifikan terhadap bumi. Namun, di tengah situasi ini, karya sastra menawarkan perspektif baru tentang bagaimana kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik.
Selama enam hari, mulai dari tanggal 27 November hingga 1 Desember 2024, Taman Ismail Marzuki akan menjadi pusat perhelatan JILF x JakTent.
Berbagai kegiatan menarik telah disiapkan, mulai dari pameran media yang menampilkan karya-karya jurnalistik lingkungan, bazar buku yang menghadirkan beragam judul karya sastra, hingga forum penulis yang akan menghadirkan puluhan pembicara untuk berbagi pandangan mengenai isu-isu lingkungan dan sastra.
Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati malam anugerah Sayembara Kritik Sastra serta sejumlah pertunjukan seni lainnya.
Kolaborasi JILF x JakTent ini melibatkan berbagai pihak, termasuk National Geographic Indonesia, Mongabay, Trend Asia, IKAPI, Kusala Sastra Khatulistiwa, dan sejumlah komunitas sastra di Jakarta.
Partisipasi dari berbagai pihak ini diharapkan dapat memperkaya perbincangan mengenai sastra dan lingkungan, serta menginspirasi masyarakat untuk lebih peduli terhadap masa depan bumi.
KOMENTAR