Nationalgeographic.co.id—Lampu ruangan dimatikan, menyisakan cahaya dari lampu proyektor yang kini menampilkan film dokumenter Wayang Potehi. Hening menyelimuti ruangan, penonton larut dalam kisah perjalanan Dwi Woro Retno Mastuti sembari mengenal wayang potehi sebagai warisan budaya akulturasi Cina dan Jawa.
Dwi Woro memulai perjalanannya ketika ia menjadi mahasiswi di Jerman. Saat itu, dia mengunjungi museum untuk melihat wayang-wayang Cina dan langsung jatuh cinta pada wayang potehi.
Selanjutnya pada 2004, Dwi Woro mulai meneliti wayang potehi. Dia mengunjungi klenteng-klenteng di Indonesia untuk melihat pertunjukkan wayang potehi, namun nihil. Tidak ada satu pun klenteng yang menggelar pagelaran wayang potehi, yang merupakan hasil dari diaspora (penyebaran) Tionghoa ke seluruh dunia ketika krisis ekonomi di masa Dinasti Ming.
Dwi Woro pun berinisiatif membangun sanggar budaya Rumah Cinwa (Cinta Wayang) pada tahun 2014. Sebenarnya, pada awalnya cinwa adalah singkatan dari Cina Jawa, tapi lalu ia memutuskan untuk menjadikan sanggar sebagai rumah untuk semua wayang.
Sebagai orang yang meneliti dan turut melakukan pagelaran wayang, tentu saja dirinya memiliki karakter wayang potehi yang ia kagumi. Ia bercerita dengan penuh semangat dan terharu ketika membicarakan karakter Hwan Lee Hwa, sebagai tokoh wayang perempuan yang dikagumi.
Hwan Lee Hwa adalah panglima perang wanita yang tangguh namun rendah hati, tragedi dengan keluarga membuatnya ia kehilangan keluarga sendiri. "Semua kesuksesan itu pasti ada pengorbanan," ujar Dwi Woro.
Dalang perempuan di dunia wayang sendiri merupakan hal yang jarang sekali ditemukan. Untuk itu, tidak salah jika pada akhirnya Dwi Woro menjadi dalang perempuan pertama ketika wayang potehi kembali dipentaskan.
Menurutnya, memang terdapat celah atau gap atau diskriminasi bahwasannya dalang itu pasti laki-laki. Namun, di masa sekarang, hal tersebut sudah tidak relevan lagi. Dia menambahkan bahwa menjadi dalang perempuan memang memerlukan ketangguhan, serta kemahiran yang sepadan dengan dalang laki-laki. Kesulitan yang dialaminya juga bukan tentang diskriminasi.
"Sulit, tidak mudah, karena background saya sebagai pengajar, biasanya dua arah, sementara menjadi dalang harus mengubah suara perempuan, suara laki-laki, suara marah, dan lainnya. Itu sulit sekali," jelasnya.
Mengingat-ingat kembali momen berkesan bagi dirinya, Dwi Woro menceritakan tentang pagelaran wayang potehi yang diadakan di Salihara Art Center yang ia sebut 'kelas dewa'. Sembari mengingat dengan tersenyum ia kembali bercerita.
Baca Juga: Kisah Kepahlawanan Sie Jin Kwie dalam Pementasan Wayang Potehi
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR