Dia dan anak muridnya diundang untuk menggelar pertunjukkan Damarwulan, pertunjukkan wayang kali ini cukup berbeda menurutnya, bahkan meninggalkan kesan mendalam. "Sebetulnya itu dalam sekali buat saya, meleburkan dan meruntuhkan tembok antara dua budaya," kenangnya.
Pertunjukkan di Rumah Cinwa sesaat sebelum adanya Covid-19 sangat ramai. Anak-anak kecil bergerombol menonton dengan penuh hikmat dan tersenyum lebar. Dwi Woro terlihat bahagia mengingatnya. Namun, raut wajahnya kembali berubah sedih. Ia membandingkan jumlah penonton kala itu dengan masa sekarang, jumlahnya turun drastis.
Terhitung satu dekade perjuangan Dwi Woro untuk memperkenalkan wayang potehi, namun ia tidak pernah letih dan mengeluh. "Ini semua misi suci. Tidak ada penghargaan, tidak ada medali, tidak ada piala, yang ada hanyalah apresiasi," tegas Dwi Woro.
Mempertahankan budaya bukan sesuatu yang mudah. Menilik kembali bagaimana budaya dapat relevan dengan zaman sekarang, digitalisasi hanya salah satu solusi keberlangsungan atau sustainability sebuah budaya.
Ia menjelaskan bahwa hanya dengan melihat budaya di dalam 'layar' tidak akan pernah cukup. Kita harus melihat, meraba, dan mengapresiasi sebuah budaya.
Dwi Woro terlihat prihatin dengan keadaan sekarang sembari berkata, "Menyentuh benda seni itu sendiri adalah sebuah kekayaan, sebuah sikap satria, karena berani mau meluangkan waktu untuk seni pertunjukkan."
Apresiasi terhadap suatu budaya sudah jarang kita temui di kalangan masyarakat sekarang. Pada nyatanya, apresiasi adalah bentuk penghargaan atau penghormatan yang kian terkikis oleh arus globalisasi.
Dwi Woro berkaca-kaca sembari menatap ke angin kosong depannya. "Biarlah kalau tidak ada yang menonton, biarlah angin yang menonton," ujarnya.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR