Baru-baru ini, dalam perayaan hari jadi Karawang ke-391 tahun lalu menimbulkan polemik publik di media sosial. Perayaan itu memecahkan rekor muri dengan menghadirkan 1.600 nasi tumpeng yang membentuk peta Indonesia. Perayaan yang seharusnya menjadi ajang untuk berbagi bersama menjadi sia-sia karena setelah memecahkan rekor, sebagian nasi tumpeng dibuang dengan alasan tidak layak makan.
Tampaknya, perayaan ini menjadi cerminan dari permasalahan limbah pangan di Indonesia yang menuju masalah krusial yakni kelaparan.
Berada di posisi kedua se-Asean sebagai negara dengan indeks kelaparan tertinggi, mau tidak mau Indonesia harus menomorsatukan masalah kelaparan. Berdasarkan laporan dari FAO, tahun 2022 lalu, diperkirakan 5,9 persen populasi penduduk Indonesia setara dengan 16 juta jiwa mengalami kelaparan.
Bagaimana mungkin di satu sisi Indonesia membuang-buang makanan, namun di sisi lain juga termasuk negara dengan indeks kelaparan tertinggi?
Kelaparan di Indonesia bukanlah sekadar angka statistik, melainkan kenyataan pahit yang masih terjadi di masa kini. Di balik mewahnya isi piring di kota-kota besar, ada anak-anak kelaparan yang berharap sesuap nasi untuk mengisi perutnya. 16 juta penduduknya menjadi potret nyata dari ketimpangan.
Bagaimana definisi kelaparan menurutmu? Tidak punya uang hingga tidak makan berhari-hari? Tentu tidak salah. Namun, nyatanya kelaparan tergambar dalam bentuk anak kecil bertubuh kurus, atau orang tua yang menahan rasa letih kerja demi makanan untuk sang buah hati. Rasanya, hal itu sangat tepat menggambarkan kehidupan Indonesia masa sekarang.
Pernah dengar isu stunting di Indonesia bukan? Isu stunting kerap kali jadi headline berita namun penyelesaiannya seolah hanya jalan di tempat. Hal ini bukan lagi sekadar isu tetapi sudah memasuki masa krisis.
Tidak bisa menyalahkan satu pihak, namun krisis ini berasal dari kesenjangan, merupakan rahasia umum bahwa di kawasan timur Indonesia, selalu menghadapi krisis pangan. Biaya transportasi yang mahal, jarak yang jauh, hingga kurangnya infrastruktur membuat kebutuhan dasar tak pernah benar-benar sampai di sana.
Di kawasan lain, mungkin masalah yang dihadapi berbeda tentunya dengan kawasan timur. Kesenjangan ekonomi menjadi hal utama penyebab krisis. Tentu saja orang dengan penghasilan yang cukup atau lebih akan memenuhi kebutuhan hingga nutrisinya tercukupi, lalu bagaimana yang memiliki penghasilan sedikit? Mereka hanya memikirkan makan apa hari ini, bukannya memikirkan nutrisi apa yang diperlukan tubuhnya.
Anak yang terlahir dan menjalani hidup dengan kondisi fisik yang lemah tentu akan memiliki keterbatasan dalam perkembangan kognitifnya. Artinya masa depan mereka pun akan terganggu, menciptakan lingkaran kemiskinan lagi.
Ironi bukan? Limbah pangan yang kian menggunung sebenarnya mampu memberi makan bagai jutaan perut kosong apabila ditangani dengan tepat. Pertanyaan besar yang perlu direnungkan ialah sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Mungkin langkah kecil dari kita sendiri, seperti tidak membuang-buang makanan dan membeli makanan secukupnya tanpa terbuang menjadi langkah konkret yang bermakna.
Sejatinya, makanan bukan hanya tentang perut kenyang, namun tentang keadilan dan hak manusia.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR