Nationalgeographic.co.id—Ketika sedang berbelanja, seberapa sering kita tertarik makanan promo berlabel "beli satu gratis satu". Kita membelinya, meskipun tidak ada dalam daftar kebutuhan belanja. Pun, sampai masa kedaluwarsa telah lewat, kita belum juga mengonsumsinya. Akhirnya, kita membuang makanan itu begitu saja. Kejadian ini tampaknya bukan pengalaman segelintir orang.
Melansir hasil laporan dari FAO, Indonesia menempati posisi kedua negara yang menyumbang limbah pangan terbanyak. Dengan perkiraan 115 hingga 184 kilogram makanan terbuang setiap tahunnya. Limbah makanan ini tidak sembarangan menghitungnya, susut dan sisa pangan menjadi indikator penghitung.
Namun sebelum itu, mari mengenal apa sebenarnya sisa dan susut pangan agar paham bagaimana dampak yang akan ditimbulkan. Susut pangan adalah menurunnya kuantitas atau kualitas makanan yang terjadi selama tahap produksi, pasca panen, penyimpanan, pengangkutan, dan pemrosesan. Sedangkan sisa pangan adalah makanan yang masih laik konsumsi namun dibuang begitu saja. Pada tahap ini, ritel, restoran, kafe, dan rumah tangga yang berperan menjadi penyumbang terbesar.
Tahukah Anda bahwasanya limbah makanan ini berpotensi menambah jumlah emisi gas rumah kaca?
Ya, tidak salah lagi. Faktanya, limbah pangan bertanggung jawab menyumbang 8 sampai 10 persen emisi gas rumah kaca secara global, dan perlu diingat lagi bahwa Indonesia menjadi salah satu kontributornya.
Susut dan sisa pangan
Laporan studi berjudul, “Food Loss and Waste Regional: West Java, Central Java, Bali.” diterbitkan oleh United Nations (UN), Bappenas, dan lembaga lainnya pada tahun 2023. Laporan studi ini mengkaji mengenai limbah pangan yang ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali.
Ketiganya menjadi area studi dikarenakan telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) bersama Bappenas untuk melaksanakan pembangunan rendah karbon. Ada tujuh provinsi yang juga melaksanakan pembangunan rendah karbon, namun tiga provinsi ini dipilih karena memiliki populasi penduduk yang lebih banyak.
Dalam laporan menyebutkan bahwa 12,7 persen produk domestik bruto berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Lebih dari 50 persen emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor pangan (sektor pertanian dan perikanan) dan penggunaan lahan yang berkaitan dengan deforestasi (sektor kehutanan).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2018 menyebutkan bahwa 44 persen total keseluruhan sampah di Indonesia merupakan limbah makanan. Artinya, limbah makanan di Indonesia harus ditangani dengan serius karena menyangkut kepentingan penduduknya. Namun sadarkah Anda, bahwa kini Indonesia berada di tengah garis kelaparan?
Baca Juga: Eva Bachtiar Menyelamatkan Limbah Pangan di Negeri yang Lapar
Baru-baru ini, dalam perayaan hari jadi Karawang ke-391 tahun lalu menimbulkan polemik publik di media sosial. Perayaan itu memecahkan rekor muri dengan menghadirkan 1.600 nasi tumpeng yang membentuk peta Indonesia. Perayaan yang seharusnya menjadi ajang untuk berbagi bersama menjadi sia-sia karena setelah memecahkan rekor, sebagian nasi tumpeng dibuang dengan alasan tidak layak makan.
Tampaknya, perayaan ini menjadi cerminan dari permasalahan limbah pangan di Indonesia yang menuju masalah krusial yakni kelaparan.
Berada di posisi kedua se-Asean sebagai negara dengan indeks kelaparan tertinggi, mau tidak mau Indonesia harus menomorsatukan masalah kelaparan. Berdasarkan laporan dari FAO, tahun 2022 lalu, diperkirakan 5,9 persen populasi penduduk Indonesia setara dengan 16 juta jiwa mengalami kelaparan.
Bagaimana mungkin di satu sisi Indonesia membuang-buang makanan, namun di sisi lain juga termasuk negara dengan indeks kelaparan tertinggi?
Kelaparan di Indonesia bukanlah sekadar angka statistik, melainkan kenyataan pahit yang masih terjadi di masa kini. Di balik mewahnya isi piring di kota-kota besar, ada anak-anak kelaparan yang berharap sesuap nasi untuk mengisi perutnya. 16 juta penduduknya menjadi potret nyata dari ketimpangan.
Bagaimana definisi kelaparan menurutmu? Tidak punya uang hingga tidak makan berhari-hari? Tentu tidak salah. Namun, nyatanya kelaparan tergambar dalam bentuk anak kecil bertubuh kurus, atau orang tua yang menahan rasa letih kerja demi makanan untuk sang buah hati. Rasanya, hal itu sangat tepat menggambarkan kehidupan Indonesia masa sekarang.
Pernah dengar isu stunting di Indonesia bukan? Isu stunting kerap kali jadi headline berita namun penyelesaiannya seolah hanya jalan di tempat. Hal ini bukan lagi sekadar isu tetapi sudah memasuki masa krisis.
Tidak bisa menyalahkan satu pihak, namun krisis ini berasal dari kesenjangan, merupakan rahasia umum bahwa di kawasan timur Indonesia, selalu menghadapi krisis pangan. Biaya transportasi yang mahal, jarak yang jauh, hingga kurangnya infrastruktur membuat kebutuhan dasar tak pernah benar-benar sampai di sana.
Di kawasan lain, mungkin masalah yang dihadapi berbeda tentunya dengan kawasan timur. Kesenjangan ekonomi menjadi hal utama penyebab krisis. Tentu saja orang dengan penghasilan yang cukup atau lebih akan memenuhi kebutuhan hingga nutrisinya tercukupi, lalu bagaimana yang memiliki penghasilan sedikit? Mereka hanya memikirkan makan apa hari ini, bukannya memikirkan nutrisi apa yang diperlukan tubuhnya.
Anak yang terlahir dan menjalani hidup dengan kondisi fisik yang lemah tentu akan memiliki keterbatasan dalam perkembangan kognitifnya. Artinya masa depan mereka pun akan terganggu, menciptakan lingkaran kemiskinan lagi.
Ironi bukan? Limbah pangan yang kian menggunung sebenarnya mampu memberi makan bagai jutaan perut kosong apabila ditangani dengan tepat. Pertanyaan besar yang perlu direnungkan ialah sampai kapan hal ini akan terus terjadi? Mungkin langkah kecil dari kita sendiri, seperti tidak membuang-buang makanan dan membeli makanan secukupnya tanpa terbuang menjadi langkah konkret yang bermakna.
Sejatinya, makanan bukan hanya tentang perut kenyang, namun tentang keadilan dan hak manusia.
Penulis | : | Neza Puspita Sari Rusdi |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR