Nationalgeographic.co.id—Kalender modern hari ini memiliki sejarah panjang sejak zaman Kekaisaran Romawi. Menurut masyarakat Romawi, terbentuknya sistem kalender yang dipakai berhubungan dengan legenda Romulus, pendiri Romawi.
Kita mengenali kalender modern merupakan sistem perhitungan tanggal berdasarkan siklus matahari (solar). Sejatinya, pada awal peradaban Romawi kuno, atau era Republik, kalender yang hari ini kita pakai memperhitungkan siklus bulan (lunar) dan musim-musim dalam tahun pertanian.
Perhitungannya sedikit lebih kompleks karena dalam satu tahun dimulai pada Maret di musim semi. Satu tahun bergulir selama 10 bulan yang berakhir di Desember sebagai masa penanaman musim gugur.
Enam bulan di antaranya memiliki 30 hari dan empat bulan lainnya memiliki 31 hari. Secara keseluruhan, satu tahun kalender memiliki 304 hari.
Dari Desember sampai Maret berikutnya terdapat celah musim dingin yang tidak masuk dalam hitungan kalender. Dua bulan musim dingin yang kita sebut sekarang Januari dan Februari adalah masa tidak ada aktivitas pertanian, sehingga tidak dihitung. Ada banyak pencatatan hasil bumi pada beberapa abad sebelum kalender Julian diperkenalkan menjelaskan perhitungan ini.
Kemunculan Januari dalam kalender sejarah Romawi
Kesenjangan antara Desember dan Maret kemudian mulai terasa sebagai kesulitan bagi peradaban Romawi kuno. Sejarah menyebut bahwa Numa Pompilus, raja kedua Roma yang berkuasa 715–672 SM mulai menambahkan Januari dan Februari. Kedua bulan itu menambah sebanyak 50 hari, atau satu tahun sama dengan 354 hari.
Perhitungan mulai direvisi. Setiap bulan yang memiliki 30 hari dipotong satu hari untuk menghindari angka genap. Hari-hari yang terpotong mengisi dua bulan yang baru sebanyak enam hari (total 56 hari untuk Januari dan Februari). Sementara, bulan-bulan yang sejak awal ganjil seperti Martius (Maret), Maius (Mei), Quintilis (Juli), dan Oktober dibiarkan.
Kekuatan spiritual sangat kuat dalam tatanan masyarakat Romawi. Ada ketakutan takhayul akan angka genap sehingga Januari mendapatkan satu hari lagi tambahan. Sementara Februari yang secara terminologi berarti "pembersihan" dibiarkan genap dengan 28 hari. Hal ini menjadikannya sebagai "bulan sial".
Perubahan perhitungan ini lebih banyak berdampak pada sistem solar, sementara lunar pun telah berubah jauh. Bulan lunar seperti Intercalans atau Mercedonius dimasukkan antara 23 dan 24 Februari.
Perhitungannya disesuaikan antara Februari yang setiap dua tahun sekali memiliki lima hari yang dihilangkan. Dengan demikian memberikan rata-rata 366,25 hari dalam satu tahun.
Baca Juga: Kisah Tiberius, Kaisar Romawi yang Enggan Mengisi Takhta Kekaisaran
Kalender Romawi berantakan, lahirlah kalender Julian!
Karena ada masa dalam satu bulan yang tidak stabil, terkadang kalender bisa diutak-atik dewan agamawan dalam sejarah Romawi atas permintaan otoritas pemerintah.
Salah satu kasus adalah pada Perang Punisia Kedua (218–201 SM) yang berlangsung pada tanggal yang dianggap tidak pantas. Para penguasa Romawi ingin tanggalnya diubah supaya dapat meyakinkan diri menghadapi perang. Hal ini menyebabkan para pendeta ragu membuat perubahan tanggal dengan menafsirkan fenomena alam yang seharusnya sesuai dengan kalender.
Akibat kebiasaan mengotak-atik kalender, pemegang jabatan seperti senator, gubernur, dan diktator bisa punya masa jabatan yang lebih panjang atau pendek. Pejabat biasanya punya kewenangan untuk berkuasa setahun sekali setelah pemungutan suara. Namun, penanggalan ini sering dikacaukan demi menunda atau mempercepat masa jabatan.
Pernah dalam periode pelantikan konsul dalam sejarah Romawi dimulai pada Maret. Pada 153 SM, kondisi militer membuat Quintus Fulvius Nobilor yang semestinya dilantik pada tahun berikutnya tidak dapat memulai jabatannya. Sebagai solusi, pemerintah Kekaisaran Romawi periode Republik memutuskan 1 Januari sebagai awal tahun sipil yang baru pada 154 SM demi melantiknya.
Penanggalan yang penuh ketidakpastian akhirnya dikukuhkan oleh Julius Caesar dengan pemakeman tahun kabisat. Pada 63 SM, Julius Caesar terpilih sebagai konsul baru Romawi tetapi terhalang dengan kondisi kampanye Galia dan perang saudara.
Oleh karena itu, para agamawan mulai mendiskusikan agar penentuan kabisat kalender yang berdampak pada pelantikan Romawi yang baru.
Pada 46 SM, Caesar baru kembali dari Mesir. Dia dinyatakan sebagai diktator, yaitu pemimpin yang berwenang menjabat lebih dari satu periode. Caesar mempelajari perhitungan kalender solar yang diajarkan astronom Sosigenes dari Alexandria.
Singkatnya, Caesar mengoreksi hari-hari yang hilang dalam kalender lunar periode Republik. Satu hingga dua hari ditambahkan pada bulan-bulan yang sebelumnya kehilangan jumlah hari.
Januari, Sextilis (Agustus) dan Desember akhirnya memiliki 31 hari, kemudian April Juni, September, dan November punya 30 hari. Kemudian kalender menghasilkan 365 hari untuk empat musim yang hampir sama, tetapi Februari menjadi 28 hari.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Julian yang diperkenalkan pada 1 Januari 45 SM, tepatnya pada bulan baru pertama setelah titik balik matahari musim dingin.
Baca Juga: Terowongan Titus di Turki, Bukti Keajaiban Teknik Bangsa Romawi Kuno
Julius Caesar dibunuh pada 44 SM. Demi mengenang jasa-jasanya dalam kalender dan kepemimpinan dalam sejarah Kekaisaran Romawi, Octavianus Augustus mengganti nama Quinctilis, bulan kelahiran Caesar, menjadi "Juli".
Reformasi kalender pun berlanjut di masa Augustus pada 8 SM. Acap kali para pendeta secara keliru menyesuaikan tahun kabisat setiap tiga tahun dengan memasukkan banyak hari tambahan. Barulah kemudian Augustus mereformasi kalender dengan sedikit perubahan, yaitu memberikan beberapa hari untuk Februari setiap empat tahun sekali sebagai tanggal kabisat.
Reformasi yang dilakukan Augustus menjadikan Sextilis sebagai Agustus. Pemilihan bulan tersebut berkaitan dengan pertama kalinya Augustus terpilih menjadi konsul, menjadikan Mesir sebagai bagian dari Kekaisaran Romawi, dan berakhirnya perang saudara.
Meski lebih pakem dari kalender sebelumnya, kalender Julian yang dipakai bangsa Eropa masih memiliki kekurangan. Kelak, beberapa abad setelah berakhirnya sejarah Kekaisaran Romawi, Paus Gregorius XIII merevisi kalender tersebut. Demikian muncullah kalender Gregorian yang sampai hari ini dipakai di pelbagai belahan dunia.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR