Penggunaan metode hukuman yang aneh sepanjang sejarah dunia
Menggelitik sebagai bentuk hukuman dan penyiksaan berakar di banyak bagian dunia. Selama Dinasti Han, orang Tiongkok dilaporkan menggunakan penyiksaan gelitik. Waktu pemulihan hukuman ini cepat dan tidak meninggalkan bekas permanen pada korban.
Di Jepang, bentuk penyiksaan gelitik yang disebut kusuguri-zeme, atau “gelitik tanpa ampun,” merupakan bagian dari shikei. Shikei adalah sistem “hukuman pribadi” yang inventif dan kejam yang digunakan terhadap pelaku.
Dan sementara banyak penyiksa lebih menyukai penyiksaan gelitik karena jarang menimbulkan kerusakan permanen. Dan dalam kasus ekstrem, hukuman ini dilaporkan dapat menyebabkan sesak napas, aneurisma, dan cedera terkait stres lainnya.
Untuk menghukum penjahat, bangsa Romawi menggunakan bentuk penyiksaan gelitik yang sangat brutal yang melibatkan kambing.
Para penyiksa korban akan mengikatnya dan mencelupkan kakinya ke dalam air garam. Kemudian, seekor kambing akan menjilati kaki pelaku yang tidak bisa bergerak. Jilatan tersebut membuat korbannya terus menerus gelisah dan kesakitan saat lidah kambing yang kasar menembus kulitnya.
Selama Era Victoria, penyiksaan gelitik muncul dalam sejumlah kisah kekerasan dalam rumah tangga. Pada 1869, sebuah cerita yang diterbitkan dalam Illustrated Police News menceritakan tentang seorang wanita dan suaminya, Michael Puckridge. Puckridge memberi tahu istrinya bahwa ia telah menemukan obat untuk varisesnya. Dan setelah mengikat sang istri di papan, ia mulai menggelitik kaki istrinya hingga istrinya konon menjadi gila.
Kisah terkenal lainnya, juga antara pasangan suami istri, melibatkan Pierrot si Badut, karakter pantomim yang terkenal.
Penggunaan hukuman gelitikan di zaman modern
Ada bukti bahwa kekuatan politik telah menggunakan penyiksaan gelitik untuk menghukum dan mempermalukan tahanan hingga abad ke-20.
Selama Perang Dunia II, seorang tahanan bernama Josef Kohout mengaku ia menyaksikan Nazi menggelitik sesama tahanan sebagai bentuk penyiksaan.
“Permainan pertama yang dilakukan oleh sersan SS dan anak buahnya adalah menggelitik korbannya dengan bulu angsa. Gelitikan dilakukan di telapak kakinya, di antara kedua kakinya, di ketiak, dan di bagian tubuh telanjang lainnya,” tulis Kohout dalam bukunya The Men with the Pink Triangle.
“Ia tertawa terbahak-bahak yang kemudian berubah menjadi teriakan kesakitan. Sementara air mata mengalir di wajahnya dan tubuhnya melilit rantainya. Setelah siksaan yang menggelitik ini, mereka membiarkan anak laki-laki itu tergantung di sana sebentar. Sementara banjir air mata mengalir di pipinya dan dia menangis tersedu-sedu tak terkendali.”
Saat ini, penyiksaan gelitik paling umum digunakan dalam lingkup rumah tangga, biasanya antara saudara kandung. Namun, bahkan dalam kasus ini, hal itu dapat menjadi suatu bentuk penyalahgunaan.
Vernon Wiehe dalam bukunya Sibling Abuse: Hidden Physical, Emotional, and Sexual Trauma mengungkapkan hasil surveynya. Ia melakukan survei terhadap 150 orang dewasa. Wiehe menemukan bahwa penyiksaan gelitik di masa kanak-kanak menghasilkan respons fisiologis yang ekstrem. Termasuk muntah, sesak napas, dan bahkan buang air kecil.
Dalam semua kasus ini, orang yang digelitik mungkin tertawa menahan rasa sakit. Namun, seperti yang telah kita lihat, tidak ada yang lucu tentang penyiksaan dengan gelitik.
Source | : | All Thats Interesting |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR