Nationalgeographic.co.id—Sepanjang evolusi budaya dan sejarah kalender, selalu ada tanggal penting untuk menandai berlalunya waktu. Perayaan Malam Tahun baru disertai dengan tradisi yang mencerminkan harapan dan sukacita. Ada beragam tradisi perayaan Malam Tahun Baru untuk menyambut hari baru.
Akar dari perayaan Malam Tahun Baru di zaman modern
Bagi orang Sumeria, Asiria, dan Babilonia kuno, perayaan Tahun Baru disebut Akitu. Akitu menandai dimulainya hampir 2 minggu perayaan untuk menghormati dewa utama mereka, Marduk. Bersamaan dengan parade, pesta, pembersihan kuil, dan ritual lainnya, para pendeta akan merendahkan raja dengan menampar wajahnya. Jika raja menangis, itu pertanda baik.
Akitu adalah akar yang dalam dari tradisi Malam Tahun Baru modern. Meski Akitu berlangsung di awal musim semi, yang dikaitkan dengan kelahiran kembali alam tahunan.
Orang Mesir mengatur waktu perayaan Tahun Baru mereka sendiri dengan banjir Sungai Nil. Kalender Tiongkok, Hindu, Buddha, Islam, dan Yahudi masih terkait dengan kalender lunar. Kita harus berterima kasih kepada Julius Caesar untuk tanggal 1 Januari, yang diperkenalkan pada tahun 46 SM.
Januari dinamai menurut Janus, dewa Romawi berwajah dua dan dua pasang mata yang menatap masa lalu dan masa depan. Butuh waktu ribuan tahun bagi Eropa untuk mengadopsi kalender Gregorian yang masih kita gunakan hingga saat ini. Inggris dan koloninya tidak mengadopsinya hingga tahun 1752, Rusia hingga tahun 1918, dan Yunani hingga tahun 1923.
Tanggal Tahun Baru yang berbeda-beda
Jika Anda mengunjungi Ethiopia pada tanggal 31 Desember untuk merayakan Malam Tahun Baru, Anda mungkin akan kecewa. “Pasalnya, orang Ethiopia masih menggunakan kalender yang berbeda dan merayakan tahun baru mereka pada tanggal yang baik yaitu 11 September,” tulis Robin Esrock di Canadian Geographic.
Iran, Nepal, dan Afghanistan juga menggunakan kalender yang berbeda. Sementara beberapa negara menggunakan kalender Gregorian dan kalender tradisional, seperti India, Pakistan, Israel, dan Bangladesh. Hijriah, Tahun Baru Islam, biasanya jatuh pada akhir musim semi atau awal musim panas. Sementara Rosh Hashanah, Tahun Baru Yahudi, biasanya jatuh pada musim gugur. Tahun Baru tidak jatuh pada tanggal 1 Januari di mana-mana.
Ragam tradisi perayaan Malam Tahun Baru
Biasanya, penduduk lokal akan memadati tempat-tempat terkenal untuk merayakan Malam Tahun Baru. Hingga dua juta orang berbondong-bondong ke Pantai Copacabana di Rio de Janeiro untuk menghadiri Reveillon tahunan.
Baca Juga: Bukan Sekadar Tren, Resolusi Tahun Baru Bertahan selama Ribuan Tahun
Mereka mengenakan pakaian putih dan penuh takhayul. Sebagai permulaan, warna pakaian dalam Anda penting, dan hal ini dianggap cukup serius. Kenakan celana dalam merah jika Anda menginginkan gairah, biru untuk persahabatan, kuning untuk uang dan keberuntungan. “Sedangkan merah muda untuk cinta, hijau untuk kesehatan, putih untuk kedamaian, dan ungu untuk inspirasi,” tambah Esrock.
Saat jam menunjukkan tengah malam, orang-orang berbondong-bondong menuju laut. Mereka melompati tujuh ombak demi keberuntungan. Lalu menghadap ke laut dan membuat satu permintaan per ombak.
“Kenangan saya akan perayaan Malam Tahun Baru di Copacabana adalah panas menyengat, suara drum yang keras, terlalu banyak orang. Ada banyak kapal pesiar yang parkir di lepas pantai,” Esrock menjelaskan.
Seperti Copacabana, Pelabuhan Sydney meniru pertunjukan kembang api besar-besaran. Sydney mendapat perhatian internasional karena mencapai tengah malam lebih dulu.
Irlandia memiliki tradisi mencium orang asing saat jam menunjukkan tengah malam. Tradisi ini bermula dari festival musim dingin Romawi Saturnalia, dan tradisi Viking yang disebut Hogmanay. Keduanya kini dikaitkan dengan pesta Malam Tahun Baru yang riuh di Skotlandia.
Mencium orang asing di tengah malam kemungkinan besar dibawa ke Amerika Utara oleh imigran Jerman. Mereka percaya bahwa mencium seseorang di tengah malam adalah pertanda keberuntungan.
Jepang mengadopsi kalender Gregorian pada tahun 1873. Dan pada Malam Tahun Baru, kuil-kuil Buddha di seluruh negeri untuk membunyikan lonceng mereka sebanyak 108 kali. Disebut Joya no Kane, setiap dentang dikaitkan dengan 108 godaan duniawi. Misalnya keserakahan, delusi, keraguan, rasa malu, ketidaktahuan, dan kemarahan. Semua godaan duniawi akan hilang saat kita membuang dosa-dosa kita di tengah malam.
Kuil Sensoji dan Zozoji yang ikonis di Tokyo adalah destinasi populer untuk benar-benar menyambut Tahun Baru. Tiket dijual di awal dan kios-kios yang menjual makanan musiman. Orang Jepang juga memiliki kebiasaan untuk mengunjungi kuil Shinto atau Buddha pada Hari Tahun Baru untuk memohon berkat dan berdoa memohon keberuntungan. Hari Tahun Baru juga merupakan waktu untuk osechi ryori, kotak bento berisi hidangan tradisional yang dianggap sebagai makanan terpenting tahun ini.
Di Denmark, mereka membuat banyak suara untuk menakuti roh jahat. Dan pada tengah malam, orang Denmark melompat ke tahun baru dari meja, sofa, atau kursi.
Di Spanyol, memakan 12 buah anggur setiap tengah malam merupakan tradisi, yang menjamin keberuntungan jika Anda berhasil. Namun nasib buruk mungkin akan menanti jika Anda tidak bisa menghabiskan anggur tepat waktu.
Di Yunani, tengah malam tiba dengan kue manis yang berisi satu koin yang disisipkan di bagian dasarnya. Siapa pun yang mendapatkan koin tersebut akan memperoleh keberuntungan untuk tahun yang akan datang.
Orang Ekuador membakar patung orang-orangan sawah yang disebut Ano Viejo pada tengah malam. Tradisi ini melambangkan tahun lama menjadi abu. Bersama dengan Kolombia dan Meksiko, Ekuador juga mengemas koper berisi pakaian untuk perjalanan yang ingin dilakukan di tahun baru. Mereka mewujudkan takdir ini dengan membawa koper untuk jalan-jalan sebentar.
Di Latvia, tidur sebelum tengah malam berarti tahun yang malas. Dan di negara tetangga Estonia, keberuntungan diutamakan dengan makan 7, 9, atau 12 kali di malam hari. Orang Estonia juga memastikan ada sisa makanan di setiap piring untuk roh leluhur yang berkunjung.
Apapun tradisinya, setiap orang menyambut tahun yang baru dengan penuh harapan.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR