Nationalgeographic.co.id—Pertanyaan tentang apa yang terjadi setelah kematian telah menjadi misteri abadi yang membayangi umat manusia sejak zaman dahulu.
Rasa ingin tahu yang mendalam tentang nasib kita setelah meninggalkan dunia fana ini telah melahirkan beragam teori, dari filsafat kuno hingga spekulasi ilmiah terkini.
Salah satu pemikiran yang paling menarik tentang kehidupan setelah kematian datang dari Chris Langan, seorang tokoh intelektual Amerika yang dikenal luas dengan Model Teoretis Kognitif dari Alam Semesta (CTMU).
Dalam sebuah wawancara dengan Curt Jaimungal di podcast On the Theories of Everything, Pria yang memiliki IQ antara 190 hingga 210 tersebut menawarkan sebuah perspektif yang cukup radikal mengenai kematian.
Menurut Langan, kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah transisi menuju suatu bentuk eksistensi yang berbeda.
Ia berpendapat bahwa ketika tubuh fisik kita mati, kesadaran kita—atau apa yang ia sebut sebagai "sintaksis keberadaan"—berpindah ke dimensi lain yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kematian hanyalah penghentian sementara dari hubungan kita dengan tubuh fisik yang kita tempati selama hidup di dunia ini.
"Kematian mungkin merupakan pergeseran dalam 'sintaksis' keberadaan," ujar Langan yang, seperti dilansir laman The Economic Times, menjelaskan bahwa kematian melibatkan "penghentian hubungan Anda dengan tubuh fisik tertentu yang Anda miliki saat ini."
Menurut teorinya, individu berpindah ke dimensi lain, kembali ke apa yang dia sebut sebagai "asal mula realitas."
Lebih jauh lagi, Langan berhipotesis bahwa setelah kematian, kita mungkin mendapatkan "tubuh pengganti" yang memungkinkan kita untuk terus melanjutkan eksistensi di dimensi yang baru.
Namun, ia menyebutkan bahwa ingatan kita tentang kehidupan di dunia ini mungkin akan memudar seiring waktu, sejalan dengan proses "meditasi" yang terjadi di dimensi tersebut.
CTMU yang dikembangkan oleh Langan merupakan sebuah upaya ambisius untuk mengintegrasikan matematika dan metafisika.
Baca Juga: Bagaimana Kehidupan Setelah Kematian dalam Mitologi Yunani Kuno?
Teori ini berusaha untuk menjelaskan segala sesuatu, mulai dari asal-usul alam semesta hingga keberadaan Tuhan dan kehidupan setelah kematian, dengan menggunakan bahasa matematika yang presisi.
Dengan kata lain, CTMU menawarkan sebuah kerangka kerja yang menarik untuk memahami berbagai misteri terbesar dalam kehidupan, termasuk kematian.
Sesuai dengan penelitian terbaru?
Apa yang disampaikan oleh Langan seolah sesuai dengan satu penemuan revolusioner dalam dunia neurologi telah mengungkap sisi lain dari kematian yang tak terduga.
Dalam sebuah studi mendalam yang dilakukan pada tahun 2014 oleh tim yang dipimpin oleh Profesor Jimo Borjigin di Universitas Michigan, terungkap fakta mengejutkan bahwa otak manusia ternyata masih aktif bahkan setelah jantung berhenti berdetak—sebuah kondisi yang secara medis dikenal sebagai kematian klinis.
Penelitian ini berfokus pada seorang pasien wanita muda yang kemudian dikenal sebagai "Pasien Satu". Ketika pasien ini mengalami serangan jantung, tim peneliti dengan cermat memantau aktivitas otaknya.
Hasilnya sungguh mengejutkan: mereka mengamati lonjakan dramatis pada gelombang gamma—sejenis aktivitas otak yang erat kaitannya dengan proses mengingat, kesadaran, dan fungsi kognitif tingkat tinggi.
Puncak aktivitas gelombang gamma ini tercatat mencapai 11 hingga 12 kali lipat dari tingkat normal, dan fenomena ini berlangsung selama beberapa menit setelah jantung pasien berhenti berdetak.
Temuan ini telah memicu perdebatan sengit di kalangan ilmuwan dan masyarakat umum.
Jika sebelumnya kematian dianggap sebagai titik akhir yang tegas dari semua fungsi biologis, penelitian ini menunjukkan bahwa proses di dalam otak mungkin jauh lebih kompleks daripada yang kita bayangkan.
Tim peneliti juga mengamati peningkatan sinkronisasi yang signifikan antara berbagai area otak pada momen-momen menjelang kematian.
Baca Juga: Kehidupan Setelah Kematian di Mata Jurnalis Wanita
Fenomena ini mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran dan konsentrasi yang intens, serupa dengan kondisi yang dialami seseorang saat mengalami mimpi jernih atau fokus mendalam pada suatu tugas.
Pengalaman hampir mati
Fenomena pengalaman mendekati kematian (NDE) telah lama menjadi subjek penelitian yang menarik dan kontroversial.
Banyak individu yang pernah mengalami kondisi kritis, seperti serangan jantung atau kecelakaan parah, melaporkan sensasi luar biasa seperti melihat cahaya terang, merasa keluar dari tubuh, atau mengalami kilas balik seluruh hidup mereka.
Selama berabad-abad, pengalaman-pengalaman ini sering dikaitkan dengan dimensi spiritual atau mistis. Namun, perkembangan ilmu saraf modern telah mulai mengungkap dasar neurologis dari fenomena yang begitu kompleks ini.
Penelitian terkait aktivitas otak pada saat seseorang mendekati kematian. seperti yang kita bahas di atas, mungkin bisa membantu menjelaskan fenomena ini.
Para ilmuwan telah mengamati bahwa pada saat jantung berhenti berdetak dan suplai oksigen ke otak terhenti, terjadi lonjakan aktivitas listrik di berbagai area otak. Keaktifan ini terutama terpusat pada wilayah yang terkait dengan memori, kesadaran, dan emosi.
Sinkronisasi yang intens antara area-area otak ini dapat menjelaskan mengapa banyak individu yang mengalami NDE melaporkan sensasi seolah-olah seluruh hidup mereka berputar kembali di depan mata.
Selain itu, kekurangan oksigen yang ekstrem pada saat menjelang kematian dapat memicu terjadinya halusinasi yang sangat nyata.
Halusinasi ini seringkali melibatkan sensasi visual yang intens, seperti melihat cahaya terang atau terowongan, yang merupakan ciri khas dari banyak pengalaman NDE.
Fenomena ini mirip dengan halusinasi yang dialami oleh individu yang mengalami kekurangan oksigen dalam kondisi lain, seperti saat mendaki gunung atau menyelam terlalu dalam.
Baca Juga: Secara Ilmiah, Memang Ada Kehidupan Setelah Kematian
Temuan-temuan neurologis ini, meski kontroversial memberikan perspektif baru dalam memahami pengalaman mendekati kematian. Jika sebelumnya selalu dikatikan dengan hal mistis, kini kita bisa melihat dari perspektif neurologis.
Definisi kematian yang terus bergeser
Penemuan adanya aktivitas otak yang dapat berlanjut bahkan setelah jantung berhenti berdetak telah mengguncang fondasi pemahaman kita tentang kematian.
Definisi tradisional yang selama ini kita pegang, yaitu kematian sebagai penghentian total fungsi jantung, paru-paru, dan otak, kini dipertanyakan. Jika kesadaran masih bisa bertahan dalam kondisi demikian, maka kapan sebenarnya seseorang dianggap benar-benar telah meninggal?
Pertanyaan mendasar ini membawa kita pada implikasi yang sangat luas, terutama dalam bidang medis. Praktik resusitasi dan perawatan paliatif, misalnya, harus dievaluasi ulang.
Kemungkinan adanya sisa kesadaran pada pasien yang dinyatakan meninggal secara klinis membuka peluang untuk mengembangkan teknik resusitasi yang lebih efektif.
Sebuah studi inovatif dari Universitas Yale pada tahun 2019 bahkan menunjukkan potensi untuk menghidupkan kembali sebagian sel-sel otak babi beberapa jam setelah kematian, menjanjikan terobosan baru dalam bidang medis.
Namun, di balik kemajuan yang menjanjikan ini, terdapat dilema etis yang kompleks. Sampai sejauh mana upaya medis harus dilakukan untuk memperpanjang hidup? Apakah pasien memiliki hak untuk menentukan kapan mereka ingin mengakhiri hidup?
Pertanyaan-pertanyaan ini semakin mendesak seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus mendorong batas-batas pemahaman kita tentang kehidupan dan kematian.
Perbatasan terakhir
Selama berabad-abad, kematian dianggap sebagai misteri yang tak terpecahkan, sebuah tabir yang memisahkan dunia fana dengan dunia yang abadi.
Namun, dengan kemajuan pesat dalam ilmu saraf, kematian kini bukan lagi sekadar fenomena mistis, melainkan objek studi ilmiah yang menarik. Para peneliti, dengan penuh ketelitian, tengah menguak rahasia terdalam otak manusia saat menghadapi detik-detik terakhirnya.
Ketika aliran oksigen ke otak terhenti, sebuah proses kompleks pun dimulai. Sel-sel saraf, yang selama ini menjadi pusat kendali pikiran dan perasaan, mulai kehilangan fungsinya satu per satu.
Namun, yang menarik adalah tidak semua wilayah otak mengalami kematian secara bersamaan. Beberapa area tetap aktif lebih lama dibandingkan yang lain, seolah-olah masih berusaha mempertahankan sisa kesadaran.
Penelitian mendalam ini tidak hanya sekadar memuaskan rasa ingin tahu manusia, tetapi juga memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi berbagai bidang.
Dalam dunia kedokteran, pemahaman yang lebih baik tentang proses kematian dapat membuka jalan bagi pengembangan terapi baru untuk penyakit neurodegeneratif, seperti Alzheimer dan Parkinson.
Selain itu, temuan-temuan ini juga memicu perdebatan sengit di ranah filsafat, khususnya mengenai definisi kesadaran dan esensi kehidupan.
KOMENTAR