Nationalgeographic.co.id—Guru Besar IPB University, Bambang Hero Saharjo, dilaporkan ke Polda Bangka Belitung terkait perhitungan kerugian negara sebesar Rp271 triliun di kasus korupsi timah. Pelapornya adalah Andi Kusuma dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Putra Putri Tempatan (Perpat) Babel, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di sana.
Kerugian yang dihitung Bambang itu sudah terbukti di pengadilan. Kerugian akibat korupsi timah itu mencakup kerugian ekonomi sekaligus kerugian lingkungan akibat praktik tambang timah ilegal dalam kasus korupsi tersebut.
Sebenarnya bagaimana cara menghitung kerugian negara akibat suatu kasus korupsi? Untuk memahami hal ini kita perlu tahu beberapa istilah berikut yang tercantum dalam undang-undang (UU) atau peraturan yang berlaku di negeri ini.
Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan: Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Adapun dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 disebtkan: BPK berwenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 menyebutkan: BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Nah, Bambang Hero ini bertindang sebagai ahli atau saksi ahli dalam menilai kerugian negara dalam kasus korupsi timah yang kini ramai dibicarakan.
Dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dinyatakan: Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Dalam Keputusan BPK Nomor 17/K/I-XIII.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif, terulis bahwa penghitungan kerugian negara adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung nilai kerugian negara/daerah yang terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Penghitungan kerugian negara/daerah adalah suatu bentuk pemeriksaan dan bukan sekedar penghitungan secara matematis. Penghitungan kerugian negara/daerah dilaksanakan dengan mengevaluasi bukti, yaitu dengan cara membandingkan antara kondisi dengan kriteria.
Kerugian Keuangan Negara, dapat berupa beberapa hal. Pertama, pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan. Kedua, pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.
Ketiga, hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima. Keempat, penerimaan sumber/kekayaan negara/ daerah lebih kecil/ rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak sesuai).
Baca Juga: Seperti 'Neraka', Mengapa Kebakaran Los Angeles Sulit Dipadamkan?
Kelima, timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada. Keenam, timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang seharusnya.
Ketujuh, hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku. Kedelapan, hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya
diterima.
Theodorus M. Tuanakotta dalam buku Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, pernah menjelaskan bahwa ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam proses penentuan kerugian negara. Ketiga tahapan itu adalah menentukan ada atau tidaknya kerugian negara, menghitung besarnya kerugian keuangan negara jika ada, dan menetapkan kerugian negara.
Dikutip dari HukumOnline.com, setidaknya ada tiga acuan atau faktor dalam menentukan adanya kerugian negara dalam suatu kasus korupsi. Pertama adalah pemeriksaan pukti-bukti.
Hakim akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum untuk mendukung klaim bahwa terpidana telah melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Bukti-bukti ini bisa berupa dokumen keuangan, laporan audit, atau bukti lain yang menunjukkan adanya penggelapan, penyalahgunaan wewenang, atau manipulasi dalam penggunaan dana publik.
Kedua adalah laporan keuangan dan audit. Laporan keuangan yang disusun oleh auditor, BPK, atau instansi berwenang dapat menjadi acuan utama dalam menentukan jumlah kerugian negara.
Laporan ini mengidentifikasi secara detail aliran dana, pengeluaran yang tidak sah, atau kelebihan biaya yang terkait dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh terpidana.
Hasil audit atau nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang berasal dari instansi yang berwenang menghitung kerugian negara menjadi alat bukti yang paling penting dalam kasus tindak pidana korupsi. Besar kecilnya kerugian negara akan menjadi salah satu faktor penentu terhadap beratnya tuntutan jaksa ataupun vonis hukum.
Sistem penetapan kerugian negara oleh BPK ini diatur lebih lanjut dalam dalam Peraturan BPK 1/2020.
Acuan ketiga adalah perhitungan ahli. Sering kali, hakim akan mengandalkan bantuan dari ahli forensik keuangan untuk melakukan perhitungan yang akurat terkait kerugian negara.
Baca Juga: 7 Presiden Paling Korup dalam Sejarah Dunia, yang Teratas dari Indonesia
Ahli ini akan mengevaluasi data keuangan, menganalisis transaksi, dan menghitung jumlah kerugian berdasarkan metodologi yang diakui dan relevan. BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Sering kali ada nilai kerugian lingkungan, selain kerugian ekonomi, dalam suatu kasus korupsi. Maka ahli atau pakar lingkungan seperti Bambang Hero akan dimintai keterangannya dalam hal ini.
Perubahan lingkungan tercipta akibat suatu korupsi akan diukur dan divaluasikan nilai kerugiannya. Jadi, seperti itulah cara menilai kerugian negara dalam kasus korupsi.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR