Nationalgeographic.co.id—Perubahan iklim telah memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat sepanjang sejarah dunia. Baru-baru ini, sebuah studi yang dipimpin oleh peneliti Tiongkok menunjukkan bagaimana perubahan iklim mungkin telah memengaruhi jatuhnya Dinasti Ming. Dinasti Ming adalah salah satu dinasti yang paling menonjol dan bertahan lama dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok.
Runtuhnya sebuah dinasti di Kekaisaran Tiongkok biasanya dikaitkan dengan penyebab sosial dan ekonomi. Namun Temuan tersebut menunjukkan bahwa runtuhnya Dinasti Ming mungkin telah dipercepat oleh kekeringan skala besar.
Bencana itu dikenal dengan sebutan Kekeringan Besar Wanli. Kekeringan besar ini memengaruhi Kekaisaran Tiongkok beberapa dekade lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Studi tersebut bertajuk “The collapse of the Ming Dynasty actually began with the Wanli megadrought: Insights from a hydroclimate reconstruction based on tree-ring δ18O over the past 460 years.”
Studi tentang kemunduran Dinasti Ming berfokus pada “kekeringan Chongzhen”. Kekeringan itu terjadi selama fase terakhir Dinasti Ming dan dianggap sebagai faktor utama dalam melemahnya dan akhirnya runtuhnya dinasti tersebut.
Namun, analisis terbaru oleh tim dari Institut Lingkungan Bumi (IEE), bagian dari Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok. Analisis menunjukkan bahwa kekeringan sebelumnya mungkin telah memainkan peran destabilisasi yang lebih awal dalam kejatuhan dinasti tersebut. Bencana itu dikenal dengan sebutan Kekeringan Besar Wanli.
Kekeringan Besar Wali adalah peristiwa iklim yang merugikan yang terjadi antara tahun 1585 dan 1590. Bencana ini terkenal karena durasi dan tingkat keparahannya, serupa dalam banyak hal dengan kekeringan Chongzhen.
“Namun, jarang disebutkan dalam studi sejarah Kekaisaran Tiongkok sebelumnya,” tulis Guillermo Carvajal di laman Laburju Laverde.
Salah satu tantangan utama dalam menganalisis peristiwa iklim historis terletak pada akurasi dan resolusi data. Sebelumnya, keterbatasan ini menghambat studi tentang hubungan intrinsik antara perubahan iklim dan runtuhnya Dinasti Ming.
Untuk mengatasi tantangan ini, tim peneliti Tiongkok menggunakan metodologi inovatif berdasarkan rekonstruksi historis Indeks Keparahan Kekeringan Palmer (PDSI). Peneliti juga menggunakan isotop oksigen stabil (δ18O) yang diperoleh dari lingkaran pertumbuhan pohon di Dataran Tinggi Loess di Tiongkok barat daya. Dari data tersebut, mereka dapat melacak variasi iklim dari tahun 1556 hingga 2015.
Salah satu temuan paling relevan adalah identifikasi pelemahan signifikan musim panas Asia antara tahun 1561 dan 1661. Periode tersebut bertepatan dengan fase sejarah yang dikenal sebagai “Periode Musim Lemah Dinasti Ming Akhir” (1580–1660).
Baca Juga: Ini 6 Kunci Utama Pengelolaan Iklim dan Alam Menurut para Pemimpin Dunia
Sustainability: Arkeolog Berhasil Ungkap Hubungan antara Kesenjangan dan Keberlanjutan
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR