Nationalgeographic.co.id—Sering kali, ketika kita berbicara tentang perjuangan melawan perubahan iklim, yang terbayang adalah hutan hijau yang rimbun, turbin angin yang menjulang tinggi, atau panel surya yang berkilauan.
Namun, tahukah Anda bahwa ada pahlawan tersembunyi dalam pertempuran ini yang bersembunyi di bawah permukaan laut? Pahlawan ini adalah karbon biru.
Karbon biru adalah istilah untuk karbon yang ditangkap dan disimpan oleh ekosistem laut dan pesisir. Bayangkan hutan mangrove yang misterius, padang lamun yang luas, dan rawa asin yang tenang—ekosistem inilah yang menjadi garda depan dalam menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer.
Mereka adalah penyerap karbon alami yang luar biasa efisien. Sama seperti hutan di darat, mereka menyerap CO₂, gas penyebab utama pemanasan global, tetapi dengan cara yang unik dan sangat efektif.
Salah satu keunggulan ekosistem karbon biru adalah kemampuannya dalam menyimpan karbon dalam jumlah besar. Melalui proses fotosintesis, tumbuhan di ekosistem ini menyerap CO₂ dan mengubahnya menjadi bahan organik.
Namun, berbeda dengan hutan di darat yang menyimpan sebagian besar karbon di batangnya dan daunnya, ekosistem karbon biru justru menyimpan karbon utamanya di dalam tanah, jauh di bawah permukaan.
Tanah di ekosistem ini bisa sangat dalam, mencapai beberapa meter, dan mampu menyimpan karbon selama ratusan bahkan ribuan tahun jika tidak terganggu.
Sebagai gambaran, tanah mangrove saja bisa menyimpan karbon empat kali lebih banyak per hektar dibandingkan dengan hutan tropis! Ini adalah penyimpanan karbon jangka panjang yang sangat signifikan.
Oleh karena itu, menjaga dan memulihkan ekosistem karbon biru menjadi sangat penting untuk stabilitas iklim global. Ketika ekosistem ini rusak, misalnya karena penebangan atau polusi, karbon yang tersimpan selama ini akan dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO₂.
Bayangkan jika hutan mangrove ditebang untuk dijadikan tambak ikan atau lahan pembangunan perkotaan. Tanah yang kaya karbon itu akan terpapar udara, mempercepat proses dekomposisi, dan melepaskan kembali CO₂ ke udara, yang justru memperburuk pemanasan global.
Selain kemampuannya dalam menyerap karbon, ekosistem karbon biru juga memberikan banyak manfaat tambahan yang tak ternilai harganya. "Mereka berfungsi sebagai habitat penting bagi berbagai spesies laut, termasuk ikan dan burung migrasi," tulis Wambui Mbuthia di laman Nation Africa.
Baca Juga: Blue Forest, Cara Inggris Serap Karbon Lewat Budidaya Rumput Laut
Hal ini sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati laut dan juga mendukung perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Di wilayah pesisir Kenya, misalnya, hutan mangrove adalah tempat berkembang biak yang krusial bagi populasi ikan, sehingga menopang kehidupan masyarakat nelayan setempat.
Ekosistem karbon biru juga berfungsi sebagai benteng pertahanan alami terhadap ancaman erosi pantai dan cuaca ekstrem. Sistem akar mangrove yang rapat dan kuat mampu mengurangi energi gelombang hingga 66 persen.
Ini memberikan perlindungan yang sangat berharga bagi masyarakat pesisir dari terjangan gelombang badai dan kenaikan permukaan air laut, yang menjadi masalah serius di banyak wilayah rentan di seluruh dunia.
Dari segi ekonomi, ekosistem ini juga menawarkan peluang untuk mengembangkan ekowisata dan mata pencaharian berkelanjutan. Inisiatif Mangrove Teluk Gazi di Kenya adalah contoh nyata bagaimana konservasi yang dipimpin oleh masyarakat setempat dapat menghasilkan pendapatan melalui pariwisata dan kegiatan ekonomi berkelanjutan lainnya bagi penduduk sekitar.
Ancaman besar ekosistem karbon biru
Ekosistem karbon biru, meskipun menyimpan nilai yang sangat besar bagi planet kita, kini menghadapi ancaman serius. Pembangunan pesisir yang pesat akibat urbanisasi dan industrialisasi menjadi penyebab utama hilangnya habitat-habitat penting ini.
Di benua Afrika, contohnya, alih fungsi hutan bakau menjadi tambak udang atau garam telah menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem yang begitu berharga ini. Masalah ini diperburuk lagi dengan adanya polusi dari limpasan pertanian dan sampah plastik yang semakin mencemari lingkungan karbon biru.
Perubahan iklim juga menjadi momok ganda bagi ekosistem ini. Kenaikan permukaan air laut mengancam akan menenggelamkan hutan bakau dan padang lamun.
Sementara itu, suhu laut yang terus menghangat dan pengasaman laut dapat mengganggu kesehatan dan fungsi ekosistem karbon biru. Padang lamun, khususnya, sangat rentan terhadap perubahan kualitas air. Jika padang lamun mengalami penurunan, dampaknya akan meluas pada keanekaragaman hayati laut dan kesehatan ekosistem secara keseluruhan.
Salah satu kendala utama dalam memanfaatkan potensi karbon biru untuk mengatasi perubahan iklim adalah kurangnya kesadaran dan dukungan kebijakan di tingkat nasional. "Banyak negara belum sepenuhnya mengintegrasikan strategi karbon biru ke dalam rencana aksi iklim mereka," ungkap Mbuthia.
Baca Juga: BC+: Inisatif Baru yang Mendorong Karbon Biru Menjadi Pilar Ekonomi
Kesenjangan ini sebagian disebabkan oleh kompleksitas dalam mengukur dan memantau penyimpanan karbon di lingkungan laut. Keterbatasan dana untuk inisiatif konservasi juga semakin memperparah masalah ini.
Momentum baik memulihkan ekosistem karbon biru
Namun, kabar baiknya adalah momentum global untuk melindungi dan memulihkan ekosistem karbon biru semakin menguat.
Berbagai inisiatif yang dipelopori oleh organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya karbon biru dan mendorong upaya konservasi di seluruh dunia.
Sebagai contoh nyata, "Inisiatif Karbon Biru" adalah bentuk kerjasama antara pemerintah, ilmuwan, dan masyarakat setempat untuk mengembangkan kebijakan yang melindungi ekosistem vital ini.
Di tingkat nasional, berbagai negara di dunia kini semakin proaktif dalam upaya pelestarian sumber daya karbon biru mereka. Sebagai contoh nyata, pemerintah Kenya telah aktif menjalankan berbagai proyek restorasi hutan bakau melalui kolaborasi dengan Institut Penelitian Kelautan dan Perikanan.
Inisiatif yang digerakkan oleh masyarakat lokal, seperti Mikoko Pamoja, telah menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Mereka tidak hanya berhasil menjual kredit karbon, tetapi juga secara bersamaan memulihkan habitat hutan bakau yang penting, serta mendanai pembangunan sekolah dan proyek air bersih untuk masyarakat setempat.
Organisasi non-pemerintah (LSM) juga memainkan peran krusial dalam memajukan penelitian mengenai ekosistem karbon biru. Berbagai LSM di seluruh dunia telah menjadi garda depan dalam melakukan riset yang mendalam.
Penelitian ini sangat penting untuk memberikan dasar informasi yang kuat dalam pengambilan keputusan kebijakan terkait konservasi karbon biru di berbagai wilayah.
Peran penting karbon biru dalam mengatasi perubahan iklim tidak dapat dianggap remeh. Meskipun ekosistem karbon biru hanya mencakup kurang dari dua persen dari total luas permukaan laut di bumi, mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk menyimpan hampir separuh dari seluruh karbon yang tersimpan di dalam sedimen laut.
Oleh karena itu, upaya untuk melestarikan dan memulihkan habitat-habitat ini memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa dengan melestarikan ekosistem karbon biru yang sudah ada, kita dapat mencegah pelepasan hingga satu miliar ton CO₂ ke atmosfer setiap tahunnya pada tahun 2050.
Integrasi strategi karbon biru juga sangat selaras dengan berbagai perjanjian internasional, terutama Perjanjian Paris. Perjanjian ini menekankan pentingnya solusi berbasis alam dalam mencapai target emisi nol bersih secara global.
"Berinvestasi dalam karbon biru akan membantu negara-negara dalam memenuhi Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional mereka dan mengatasi kebutuhan pembangunan lokal melalui praktik berkelanjutan," pungkas Mbuthia.
Para Peneliti Ini Manfaatkan Nyepi untuk Teliti Kebisingan Akustik di Laut, Apa Hasilnya?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR