Nationalgeographic.co.id—Dampak krisis iklim kian mengkhawatirkan. Di balik megahnya Gunung Everest, es yang selama ribuan tahun membeku mulai menunjukkan tanda-tanda rapuh. Gletser yang dulu dijuluki “es abadi” perlahan mencair.
Kini, sekelompok peneliti tengah melakukan persiapan akhir untuk sebuah ekspedisi penting ke Gunung Everest di Nepal bulan depan. Tujuan utama perjalanan ini adalah untuk meneliti penyebab mengapa es di salah satu gletser paling ikonik di gunung tersebut berada sangat dekat dengan titik leleh.
Dalam ekspedisi ini, para peneliti akan menuju ke area Western Cwm, sebuah lembah yang dikenal sebagai jalur menuju puncak Everest. Mereka meyakini bahwa di lokasi ini, radiasi matahari yang sangat intens menjadi penyebab utama mencairnya salju, meskipun suhu udara di sekitarnya tetap berada di bawah titik beku.
Fenomena mencairnya salju ini menarik perhatian karena saat air lelehan membeku kembali, proses tersebut justru dapat meningkatkan suhu salju beberapa derajat. Hal ini menciptakan kondisi di mana es gletser menjadi jauh lebih dekat dengan titik leleh dibandingkan yang selama ini diketahui.
Para peneliti menduga bahwa jika temuan ini benar, proses serupa tidak hanya terjadi di Western Cwm saja. Mekanisme ini mungkin juga berlangsung di banyak gletser lain yang tersebar di kawasan Pegunungan Himalaya.
Hal ini menjadi penting karena gletser-gletser di Himalaya merupakan sumber utama air lelehan yang mengalir ke wilayah-wilayah di bawahnya. Air dari gletser ini menjadi penopang hidup bagi jutaan orang yang menggantungkan kebutuhan air sehari-hari pada aliran sungai yang bersumber dari pegunungan tersebut.
Jika dugaan mereka benar, proses serupa mungkin juga terjadi di gletser-gletser lain di Himalaya, yang air lelehannya menghidupi jutaan orang di wilayah bawah.
Para peneliti dari University of Leeds dan Aberystwyth University akan bekerja di ketinggian lebih dari enam kilometer di atas permukaan laut dan setengah kilometer di atas Base Camp Everest. Mereka akan mengebor gletser dan menggunakan lubang bor tersebut untuk mengukur suhu es.
Mereka harus melewati Khumbu Icefall yang terkenal berbahaya—bagian paling menantang di rute South Col menuju puncak Everest—sementara peralatan mereka diangkut menggunakan helikopter.
Setibanya di gletser, tim akan berkemah di atas es dengan suhu malam hari turun di bawah -10°C. Bekerja di lingkungan dengan kadar oksigen rendah membawa risiko besar, dan tim akan memeriksa kondisi satu sama lain setiap beberapa jam untuk mencegah penyakit akibat ketinggian.
"Perjalanan ini akan menjadi ekspedisi paling berat secara fisik dan logistik yang pernah saya ikuti, dan ada banyak ketidakpastian—kami khawatir apakah peralatan kami akan berfungsi di ketinggian setinggi ini, dan jika berfungsi, apakah kami bisa mengumpulkan dan mengekspor data dengan efektif," kata pemimpin tim, Profesor Duncan Quincey dari School of Geography, University of Leeds, seperti dikutip dari laman Phys.org.
Baca Juga: Inilah Alasan Kita Tidak Bisa Merebus Telur di Puncak Gunung Everest
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR