Nationalgeographic.co.id—"Kapan nikah? Kapan punya anak? Kerja apa? Sudah punya rumah sendiri?" Itu adalah sederet pertanyaan sensitif yang kerap muncul saat Lebaran.
Meski libur Lebaran identik dengan suasana kebersamaan dan silaturahmi, tidak sedikit orang justru merasa tertekan dan lelah, baik secara fisik maupun emosional. Apalagi saat dihujani sejumlah pertanyaan menggelitik dan menekan mental ketika kumpul keluarga.
Saat libur Lebaran, perubahan rutinitas yang drastis, tekanan sosial, dan ekspektasi budaya justru dapat menjadi pemicu stres. Terlebih ketika kita harus terus berinteraksi dengan banyak orang, seperti menerima tamu tanpa jeda atau memenuhi berbagai undangan.
Nur Islamiah, atau yang akrab disapa Mia, adalah psikolog dan dosen di Fakultas Ekologi Manusia IPB University. Ia memberikan sejumlah strategi untuk membantu mengelola stres selama Lebaran.
Salah satu langkah penting yang disarankan adalah mengatur ekspektasi pribadi dengan menetapkan batas psikologis atau psychological boundaries.
“Kita tidak punya kewajiban dan memang tidak mungkin bisa untuk menyenangkan semua orang. Sering kali kita merasa harus selalu tersenyum, melayani tamu, dan menjaga suasana,” tutur Mia, seperti dikutip dari laman IPB University.
Oleh karena itu, saat suasana Lebaran terasa padat, penting untuk mengenali batas diri, misalnya memilih percakapan yang ingin kita ikuti, atau menarik diri sejenak tanpa merasa bersalah. Menetapkan batas waktu dan energi untuk bersosialisasi bukan berarti tidak menghargai orang lain, melainkan justru bentuk menjaga diri agar tetap sehat mental.
Mia juga menekankan pentingnya memberi ruang untuk diri sendiri. “Memberi ruang bukan berarti menjauh, tapi justru cara memelihara kapasitas emosional. Tanpa ruang itu, kita lebih mudah merasa lelah, tersinggung, bahkan kosong—meski sedang dikelilingi banyak orang.”
Lebih lanjut Mia menjelaskan pentingnya keseimbangan antara kebersamaan dengan keluarga dan memberi ruang untuk diri sendiri. “Untuk bisa hadir sepenuhnya bagi orang lain, kita juga harus hadir untuk diri sendiri,” katanya.
Salah satu cara sederhana untuk menjaga keseimbangan adalah dengan menyempatkan waktu sejenak untuk diri sendiri, seperti bangun lebih pagi untuk menikmati ketenangan atau menyendiri beberapa menit di kamar.
Tekanan sosial yang sering muncul saat Lebaran—seperti pertanyaan tentang pekerjaan atau pencapaian hidup, bisa menjadi tambahan beban mental bagi sebagian orang.
Baca Juga: Pakar Fisika Teori Jelaskan Sains di Balik Dua Kali Ramadan Tahun 2030
Mia menyarankan untuk meresponsnya dengan kalimat yang diplomatis namun tetap menjaga batas pribadi, seperti: “Masih dalam proses. Mohon doanya, ya.”
“Jawaban seperti ini cukup untuk menjaga kenyamanan tanpa perlu menjelaskan terlalu banyak,” jelasnya.
Jika perasaan tertekan atau kelelahan emosional muncul, Mia mengingatkan agar tidak mengabaikan emosi tersebut. “Tidak apa-apa merasa lelah di tengah suasana yang bahagia. Validasi perasaan itu penting,” ujarnya.
“Carilah cara sederhana untuk menenangkan diri—seperti berjalan-jalan sebentar, berwudu, atau mengambil waktu untuk beribadah dengan khusyuk,” tegas Mia.
Bagi mereka yang merayakan Lebaran seorang diri, Mia menyampaikan bahwa rasa kesepian akan lebih terasa, terutama ketika melihat orang lain berkumpul dan merayakan dengan keluarga besar.
“Tidak apa-apa jika muncul perasaan sedih atau hampa. Merasa sendiri di momen seperti ini adalah hal yang wajar,” ujarnya.
Mia menyarankan agar individu tetap berupaya menjaga koneksi emosional, meskipun secara fisik tidak bersama orang terdekat. “Hubungi orang yang disayangi, lakukan panggilan video meski hanya sebentar, yang terpenting, jangan memendam semuanya sendirian.”
Menurutnya, langkah-langkah sederhana seperti ini dapat membantu seseorang tetap merasa terhubung dan mengurangi rasa kesepian di tengah perayaan.
Sebagai penutup, Mia menyampaikan bahwa Lebaran bukanlah ajang perlombaan untuk terlihat paling bahagia atau paling sukses. “Kita tidak harus selalu kuat, dan tidak perlu merasa harus sempurna. Memberi ruang untuk diri sendiri justru merupakan bentuk kekuatan emosional yang matang."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR