Biara Me Nu, yang juga disebut Biara Maha Aung Mye Bom San, juga mengalami kerusakan parah. Biara Batu Bata Me Nu memang sudah tidak aktif selama bertahun-tahun. Namun, biara ini tetap menjadi situs warisan penting dan objek wisata populer, menurut Niklas Foxeus. Foxeus adalah profesor di Universitas Stockholm di Swedia yang mempelajari agama Buddha di Myanmar.
Dibangun pada tahun 1822 oleh Ratu Nanmadaw Me Nu, biara ini merupakan bangunan penting Dinasti Konbaung. Dinasti tersebut berkuasa dari tahun 1752 hingga 1885. Sejak dinasti tersebut tumbang selama Perang Inggris-Burma Ketiga, biara ini telah bertahan dari konflik internal dan amukan alam. Biara ini sebelumnya pernah rusak akibat gempa bumi besar pada tahun 1838.
Biara ini merupakan salah satu contoh terbaik arsitektur Myanmar selama Periode Konbaung. Ornamennya yang rumit dan atapnya yang bertingkat-tingkat mencerminkan desain biara kayu di dekatnya dari Dinasti Konbaung.
Apakah bangunan bersejarah budaya dan agama di Myanmar bisa dipulihkan setelah gempa?
Memperbaiki bangunan kuno menjadi rumit karena konstruksinya menggunakan batu bata yang tidak diperkuat.
“Sayangnya, bangunan ini juga rentan terhadap kerusakan akibat gempa bumi. Batu batanya tidak diikat seperti bangunan baja dan beton modern,” kata Jared Keen, direktur teknis perusahaan teknik Asia-Pasifik Beca. “Bangunan batu bata yang rusak sebagian dapat diperbaiki dan diperkuat. Namun penguatan tersebut sering kali merupakan tugas yang rumit.”
Kekhawatiran serupa diungkapkan oleh Tamas Wells, koordinator Myanmar Research Network di Universitas Melbourne.
“Tantangan utama dalam restorasi situs keagamaan utama adalah latar belakang rezim militer yang brutal. Dan bukan spesifikasi teknis pembangunan kembali,” kata Wells.
Perang saudara Myanmar kemungkinan akan menunda pembangunan kembali situs yang rusak, prediksi Chris Sidoti. Sidoti adalah mantan anggota Misi Pencari Fakta Internasional Independen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar.
“Sangat sulit untuk melihat bagaimana pembangunan kembali yang sesungguhnya dapat dilakukan. Baik itu pembangunan infrastruktur sipil, perumahan, atau situs budaya. Kecuali dan sampai perang berakhir,” kata Sidoti.
Gencatan senjata di Myanmar menawarkan secercah harapan, dalam hal itu. Namun, bahkan di masa damai, memulihkan kompleks keagamaan yang tak ternilai ini akan menjadi tugas yang sangat rumit. Hal itu disebabkan karena kemiskinan, infrastruktur yang buruk, dan ketidakstabilan politik di Myanmar.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR