Nationalgeographic.co.id—Tersembunyi di antara es dan batuan purba Antarktika, fosil seekor burung mengungkap rahasia besar tentang masa lalu Bumi. Bukan hanya sekadar sisa makhluk yang telah lama punah, fosil ini membawa kita mundur ke masa ketika burung dan dinosaurus berbagi langit dan daratan. Temuan ini juga menawarkan jendela unik ke dalam tahap awal evolusi burung modern—dan membawa kabar baru dari ujung dunia tentang asal usul keragaman burung yang kita kenal hari ini.
Kajian Christopher R. Torres dan timnya itu berjudul “Cretaceous Antarctic bird skull elucidates early avian ecological diversity” yang terbit di jurnal Nature pada Februari 2025. Mereka mendeskripsikan fosil tengkorak burung dari Antarktika yang hampir utuh. Temuan ini memberikan wawasan mendalam tentang fase awal evolusi burung modern serta keragaman jenis burung pada penghujung Zaman Dinosaurus.
Fosil tengkorak tersebut berasal dari Vegavis iaai, seekor burung mirip bebek yang telah punah dan hidup pada periode Kapur Akhir—masa yang mendahului punahnya dinosaurus non-avian. Fosil ini menjadi salah satu tengkorak burung tiga dimensi dari zaman Kapur yang sangat langka dalam catatan ilmiah. Periode ini sendiri membentang sekitar 79 juta tahun dan merupakan masa terakhir ketika dinosaurus non-avian masih hidup di Bumi.
Vegavis merupakan salah satu spesies burung paling terkenal dari era tersebut. Sejumlah fosil dari spesies ini telah ditemukan sebelumnya, termasuk fosil syrinx (organ suara burung) tertua yang pernah diketahui. Namun, studi terbaru terhadap tengkorak dan bentuk otak yang terekam di dalamnya tidak hanya memperkaya pengetahuan tentang spesies ini, tetapi juga membantu ilmuwan memahami bagaimana burung-burung modern berevolusi dari nenek moyang purbanya.
“Hanya ada sedikit otak yang dapat menjelaskan fase evolusi burung ini,” ujar Chris Torres, asisten profesor di University of the Pacific yang memimpin penelitian ini, seperti dikutip dari laman Eurekalert.
Torres melakukan penelitian ini sebagai peneliti pascadoktoral National Science Foundation di Ohio University. Ia memulainya saat menjadi mahasiswa pascasarjana di University of Texas di Austin, bekerja bersama Julia Clarke, profesor di UT Jackson School of Geosciences.
Studi ini merupakan kelanjutan dari rangkaian penemuan penting terkait Vegavis oleh Julia Clarke. Ia bersama timnya pertama kali mengidentifikasi dan memberi nama spesies ini pada 2005, berdasarkan fosil yang ditemukan di Pulau Vega, Antarktika, pada 1992.
Fosil tersebut menjadi contoh pertama dari kerabat langsung burung modern yang berasal dari periode Kapur Akhir, sekaligus menjadi bukti kuat bahwa burung-burung modern pernah hidup berdampingan dengan dinosaurus non-avian menjelang kepunahan mereka.
Penemuan berlanjut pada 2016, ketika Clarke dan rekan-rekannya menemukan syrinx—organ suara khas burung—yang telah membatu, berasal dari spesimen Vegavis yang berbeda. Kemudian, pada 2011, Clarke turut serta dalam ekspedisi pencarian fosil di Antarktika, yang menjadi momen penting ditemukannya tengkorak burung ini. Fosil tengkorak tersebut ditemukan oleh Eric Roberts, ahli geologi dari Colorado School of Mines, yang juga merupakan salah satu penulis dalam studi terbaru ini.
Saat Clarke pertama kali mengidentifikasi Vegavis, ia menyimpulkan bahwa burung ini memiliki hubungan dekat dengan bebek dan angsa modern, dan dapat diklasifikasikan dalam kelompok evolusioner Anseriformes yang mencakup keduanya. Namun, sejak saat itu, beberapa peneliti lain berpendapat bahwa Vegavis sebenarnya memiliki hubungan yang jauh dengan sebagian besar garis keturunan burung masa kini.
Baca Juga: Sebagai Satu-satunya Dinosaurus yang Tersisa, Inikah Alasan Burung Selamat dari Kepunahan?
“Hanya sedikit burung yang bisa memicu perdebatan sengit di kalangan paleontolog seperti Vegavis,” kata Torres.
Namun, pertanyaan tentang posisi Vegavis dalam pohon kehidupan bukan sekadar persoalan teknis di antara para ahli. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan besar dalam evolusi burung: Apakah kepunahan dinosaurus non-avian merupakan pemicu utama diversifikasi burung modern, ataukah diversifikasi tersebut sudah berlangsung sejak Zaman Dinosaurus? Dan, sejauh mana dampak dari tumbukan asteroid di akhir periode Kapur terhadap evolusi dan keragaman burung modern?
Melalui studi ini, para peneliti akhirnya dapat menetapkan posisi taksonomi Vegavis dengan lebih pasti. Beragam ciri anatomi yang dimiliki spesies ini menegaskan bahwa Vegavis termasuk dalam kelompok Anseriformes, sebagaimana telah dihipotesiskan sebelumnya oleh Clarke. Temuan ini mengindikasikan bahwa garis awal evolusi burung modern sudah mulai terbentuk dan berkembang berdampingan dengan dinosaurus non-avian, jauh sebelum kepunahan massal terjadi.
Penempatan ini sempat mengejutkan para peneliti. Pasalnya, tengkorak Vegavis memiliki beberapa ciri yang jauh dari bentuk bebek pada umumnya, terutama paruhnya yang panjang dan berbentuk seperti tombak.
“Saya rasa bentuk ini membuat beberapa orang ragu,” kata Clarke. “Mereka mengira tengkoraknya akan lebih mirip bebek atau angsa.”
Clarke menjelaskan bahwa bebek dan angsa masa kini hanyalah sebagian kecil dari keragaman burung anseriform yang pernah ada. Catatan fosil menunjukkan adanya burung mirip bebek yang memiliki gaya hidup mirip burung bangau atau flamingo masa kini. Vegavis dan paruh khasnya menjadi bukti betapa beragamnya burung mirip bebek yang pernah hidup di Bumi.
“Dulu mereka aneh dan luar biasa,” ujar Clarke. “Kita punya begitu banyak ragam burung anseriform yang sekarang telah punah, dan Vegavis sesuai dengan keragaman itu.”
Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya melakukan riset mendalam terhadap satu spesies. Clarke dan koleganya telah menghabiskan puluhan tahun mempelajari fosil Vegavis dari Antarktika.
Namun, penemuan yang mereka lakukan kini dinilai memiliki dampak yang lebih luas terhadap pemahaman keseluruhan pohon evolusi burung. Patrick O’Connor, profesor di Ohio University sekaligus direktur Earth and Space Sciences di Denver Museum of Nature & Science yang turut menjadi penulis dalam studi ini, menyatakan bahwa fosil baru tersebut mengungkapkan potensi besar Antarktika dalam menyimpan berbagai informasi penting mengenai tahap awal evolusi burung modern.
Fosil-fosil hewan dan tumbuhan masa itu di Antarktika sangat langka. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan baru tentang bagaimana lingkungan purba di wilayah tersebut memungkinkan burung dan bentuk kehidupan lainnya berevolusi dan beragam.
“Ada sesuatu yang sangat berbeda terjadi di ujung selatan belahan bumi, khususnya di Antarktika,” kata O’Connor. “Kita perlu menelusuri catatan fosil dan perubahan lingkungan di kawasan ini dengan lebih saksama.”
Penelitian ini menegaskan bahwa Antarktika bukan hanya sekadar daratan beku yang sunyi, melainkan juga gudang rahasia masa lalu yang masih menyimpan banyak cerita belum terungkap. Fosil Vegavis iaai menjadi petunjuk penting dalam mengurai jejak evolusi burung modern, sekaligus membuka pertanyaan-pertanyaan baru tentang ekosistem purba di belahan bumi selatan.
Di tengah keterbatasan fosil dari wilayah ini, setiap temuan menjadi serpihan kunci yang menyusun narasi besar tentang bagaimana kehidupan — terutama burung — bertahan, beradaptasi, dan berkembang melintasi masa kepunahan besar.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Nature,EurekAlert! |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR