“Hanya sedikit burung yang bisa memicu perdebatan sengit di kalangan paleontolog seperti Vegavis,” kata Torres.
Namun, pertanyaan tentang posisi Vegavis dalam pohon kehidupan bukan sekadar persoalan teknis di antara para ahli. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan besar dalam evolusi burung: Apakah kepunahan dinosaurus non-avian merupakan pemicu utama diversifikasi burung modern, ataukah diversifikasi tersebut sudah berlangsung sejak Zaman Dinosaurus? Dan, sejauh mana dampak dari tumbukan asteroid di akhir periode Kapur terhadap evolusi dan keragaman burung modern?
Melalui studi ini, para peneliti akhirnya dapat menetapkan posisi taksonomi Vegavis dengan lebih pasti. Beragam ciri anatomi yang dimiliki spesies ini menegaskan bahwa Vegavis termasuk dalam kelompok Anseriformes, sebagaimana telah dihipotesiskan sebelumnya oleh Clarke. Temuan ini mengindikasikan bahwa garis awal evolusi burung modern sudah mulai terbentuk dan berkembang berdampingan dengan dinosaurus non-avian, jauh sebelum kepunahan massal terjadi.
Penempatan ini sempat mengejutkan para peneliti. Pasalnya, tengkorak Vegavis memiliki beberapa ciri yang jauh dari bentuk bebek pada umumnya, terutama paruhnya yang panjang dan berbentuk seperti tombak.
“Saya rasa bentuk ini membuat beberapa orang ragu,” kata Clarke. “Mereka mengira tengkoraknya akan lebih mirip bebek atau angsa.”
Clarke menjelaskan bahwa bebek dan angsa masa kini hanyalah sebagian kecil dari keragaman burung anseriform yang pernah ada. Catatan fosil menunjukkan adanya burung mirip bebek yang memiliki gaya hidup mirip burung bangau atau flamingo masa kini. Vegavis dan paruh khasnya menjadi bukti betapa beragamnya burung mirip bebek yang pernah hidup di Bumi.
“Dulu mereka aneh dan luar biasa,” ujar Clarke. “Kita punya begitu banyak ragam burung anseriform yang sekarang telah punah, dan Vegavis sesuai dengan keragaman itu.”
Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya melakukan riset mendalam terhadap satu spesies. Clarke dan koleganya telah menghabiskan puluhan tahun mempelajari fosil Vegavis dari Antarktika.
Namun, penemuan yang mereka lakukan kini dinilai memiliki dampak yang lebih luas terhadap pemahaman keseluruhan pohon evolusi burung. Patrick O’Connor, profesor di Ohio University sekaligus direktur Earth and Space Sciences di Denver Museum of Nature & Science yang turut menjadi penulis dalam studi ini, menyatakan bahwa fosil baru tersebut mengungkapkan potensi besar Antarktika dalam menyimpan berbagai informasi penting mengenai tahap awal evolusi burung modern.
Fosil-fosil hewan dan tumbuhan masa itu di Antarktika sangat langka. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan baru tentang bagaimana lingkungan purba di wilayah tersebut memungkinkan burung dan bentuk kehidupan lainnya berevolusi dan beragam.
“Ada sesuatu yang sangat berbeda terjadi di ujung selatan belahan bumi, khususnya di Antarktika,” kata O’Connor. “Kita perlu menelusuri catatan fosil dan perubahan lingkungan di kawasan ini dengan lebih saksama.”
Penelitian ini menegaskan bahwa Antarktika bukan hanya sekadar daratan beku yang sunyi, melainkan juga gudang rahasia masa lalu yang masih menyimpan banyak cerita belum terungkap. Fosil Vegavis iaai menjadi petunjuk penting dalam mengurai jejak evolusi burung modern, sekaligus membuka pertanyaan-pertanyaan baru tentang ekosistem purba di belahan bumi selatan.
Di tengah keterbatasan fosil dari wilayah ini, setiap temuan menjadi serpihan kunci yang menyusun narasi besar tentang bagaimana kehidupan — terutama burung — bertahan, beradaptasi, dan berkembang melintasi masa kepunahan besar.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Nature,EurekAlert! |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR