Nationalgeographic.co.id—Telaga Dondong semakin surut. Bagian pinggirnya sudah tampak tanah yang telah ditumbuhi rumput. Hujan mulai jarang turun, tanda bahwa musim kemarau datang.
Tidak ada sungai yang mengalir langsung ke telaga yang berada di Kalurahan Jetis, Kapanewon Saptosari ini. Hujan menjadi satu-satunya sumber air alami. Saat musim hujan, debit airnya cukup untuk membantu memenuhi kebutuhan domestik warga Padukuhan Dondong. Karena semakin sulit mengakses air, warga pun menginisiasi swadaya PDAM dengan membayar lebih dari Rp10.000 untuk 10 meter kubik setiap bulannya.
Kabupaten Gunungkidul dikenal sebagai daerah penuh dahaga di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain Telaga Dondong, beberapa telaga juga mengalami kekeringan bahwa ada yang tidak pernah kembali menyediakan air untuk warga.
Faktor geologis mendukung terbatasnya akses sumber air. Kawasan Gunungkidul terdiri dari pegunungan karst yang terangkat sejak jutaan tahun silam. Hal ini menyebabkan pelbagai aliran air alami mengalir di bawah karst sebagai sungai bawah tanah.
Sungai Oya adalah sungai terbesar di Gunungkidul yang mengalir dari Wonogiri, Jawa Tengah. hanya beberapa kapanewon yang dilewatinya, termasuk pusat administrasi Wonosari. Sungai periodik ini mengalir membelah bukit karst di bagian utara, kemudian bergabung dengan Sungai Opak.
Kapanewon lainnya, seperti Saptosari, tidak dialiri sungai atau anak Sungai Oya. Beberapa anak sungai juga mengalir ke bawah batuan karst yang sulit diakses bagi warga.
Menanam Kepala Kerbau di Telaga
Saya mengikuti Festival Telaga Gunungkidul yang diadakan Komunitas Resan dan Ikatan Pemuda Pemudi Dondong (IPPD) yang berlangsung 26-27 April 2025. Di tepi telaga, spanduk dipasang lebar-lebar bertuliskan "manunggaling kawula lan telaga (bhs. Jawa: bersatunya hamba dan telaga)" yang mengisyaratkan kesatuan warga Padukuhan Dondong dan telaganya secara tradisi.
Malamnya, para pegiat budaya, juru kunci, akademisi, dan pegiat lingkungan merefleksikan pentingnya Telaga Dondong. Mbah Harso berbicara tentang sejarah telaga yang diwariskan secara oral. Ia mengatakan bahwa istilah kearifan "menanam kepala kerbau" membentuk telaga ini.
Umumnya menanam kepala kerbau identik dengan tradisi upacara atau peletakan batu pertama pembangunan untuk membuang kesialan. "Kearifan ini sering ditafsir secara harfiah," Mbah Harso merujuk pada penanaman kepala kerbau dengan sembelih.
Baginya, "menanam kepala kerbau" adalah membiarkan kerbau untuk berkubang di lumpur, sehingga membuat kerapatan dasar telaga untuk menampung air. "Kalau dilihat dari sejarahnya, Telaga Dondong ini muncul dari sebuah fenomena," lanjutnya. "Di sini dulu banyak kerbau yang sering berkubang di lumpur bekas hujan. Lama-lama, lumpurnya menampung air [dan] membentuk telaga."
Baca Juga: Singkap Danau Termal Bawah Tanah Terbesar yang Ditemukan di Albania
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR