Nationalgeographic.co.id—Tahun lalu terasa seperti masa yang berbeda bagi keuangan biru; sulit untuk menemukan banyak peluang investasi yang secara langsung mendukung perlindungan laut.
Namun, periode terkini sungguh menggembirakan, ditandai dengan kemunculan beberapa kesempatan investasi yang secara khusus menargetkan implementasi di Asia Tenggara.
Fenomena ini mencerminkan adanya momentum yang signifikan dalam pemanfaatan keuangan inovatif sebagai motor penggerak konservasi laut, yang implikasinya terasa luas secara global.
Puncak dari dorongan global untuk perlindungan laut terjadi pada bulan Februari di Jakarta dengan peluncuran Small-scale Fisheries Impact Bond (SSF Bond), yang merupakan inisiatif pertama di dunia.
Berbeda dengan organisasi non-pemerintah (NGO) dan lembaga multilateral lainnya yang sering kali berfokus pada percontohan model untuk membentuk dan memperkuat kawasan konservasi laut (KKL) tradisional, NGO Rare telah memilih untuk mengarahkan perhatiannya pada upaya peningkatan perikanan berkelanjutan yang berkontribusi pada revitalisasi ekosistem dan masyarakat setempat.
SSF Bond yang digagas oleh Rare hanyalah salah satu dari serangkaian instrumen keuangan inovatif yang telah muncul dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Meskipun beragam solusi finansial ini menarik untuk ditelusuri lebih dalam, seperti dilansir laman World Economic Forum, penting untuk terlebih dahulu memahami faktor-faktor pendorong di balik kebangkitan keuangan laut yang inovatif.
Kondisi Kritis dan Ketergantungan Asia Tenggara pada Laut
Sustainable Development Goal Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-14 (SDG 14), yang berfokus pada Kehidupan di Bawah Air, ironisnya masih menjadi SDG dengan pendanaan paling minim dibandingkan dengan semua SDG lainnya.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran yang sangat mendesif karena perairan di Asia Tenggara berada dalam kondisi yang memprihatinkan, sementara kawasan ini sangat bergantung pada laut untuk menopang penghidupan, menyediakan mata pencaharian, dan membangun ketahanan iklim.
Data menunjukkan bahwa tingkat tangkapan ikan di Laut Cina Selatan telah mengalami penurunan drastis hingga mencapai 75%, dan kondisi yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa hampir 60% populasi hiu serta pari di kawasan ini kini menghadapi ancaman kepunahan.
Meskipun lebih dari 190 negara sepakat pada tahun 2022 untuk berkomitmen pada 30x30 Initiative, yang bertujuan melindungi 30% daratan, air tawar, dan lautan dunia pada tahun 2030, kenyataannya kurang dari 3% perairan nasional di Asia Tenggara yang telah secara formal dilindungi.
Baca Juga: Karbon Biru: Rahasia Besar yang Mungkin Sebaiknya Tidak Kita Ungkap?
KOMENTAR