Nationalgeographic.co.id—"Mendengarkan suka dan duka perempuan tentunya merupakan cara untuk membuka diri terhadap kenyataan," ungkap Paus Fransiskus dalam pengantar buku Women and Ministries in the Synodal Church. Tahun lalu, buku itu diterbitkan oleh Herder-Verlag, sebuah penerbit terkemuka asal Jerman yang dikenal dengan publikasi teologis dan ilmiah.
Dalam buku itu Paus Fransiskus menekankan pentingnya mendengarkan suara perempuan dalam Gereja Katolik. Mereka sering diabaikan, diremehkan, dan kehilangan kesempatan akibat klerikalisme dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pembahasan tentang kepemimpinan perempuan dalam Gereja Katolik telah menjadi bahan diskusi panjang selama berabad-abad. Bahkan ada anggapan bahwa perempuan dalam Gereja Katolik kerap dipinggirkan dari ruang pengambilan keputusan penting.
Yohanes Hans Monteiro dan Fransiska Widyawati secara kritis mengkaji bagaimana Paus Fransiskus memandang kepemimpinan dan tahbisan perempuan di dalam Gereja Katolik. Kajian yang berjudul "Paus Fransiskus dan Kepemimpinan Perempuan dalam Gereja Katolik" terbit di jurnal Gema Teologika pada Oktober 2024.
Monteiro merupakan seorang teolog Katolik yang kini mengajar di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Rekannya, Widyawati adalah seorang akademisi dan peneliti yang kini menjabat sebagai dosen senior di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur .
"Tradisi tahbisan dikhususkan hanya bagi laki-laki dan ekslusi perempuan dalam hirarki Gereja sebagai imam dan anggota klerus sudah dipraktikkan berabad-abad," tulis Monteiro dan Widyawati dalam kajian mereka.
Apabila merujuk riwayat keterlibatan perempuan dalam gereja, Konsili Vatikan II (1962-1965) telah mengawali membuka jalan. Ada perubahan signifikan dalam keterlibatan perempuan dalam liturgi dan kehidupan pastoral. Namun demikian, konsili tetap mempertahankan prinsip bahwa tahbisan imamat hanya diberikan kepada laki-laki.
Sejak terpilih pada 2013, Paus Fransiskus—uskup pertama yang berasal dari luar Eropa—membawa angin segar dalam dinamika ini. Sepanjang satu dekade belakangan, Paus Fransiskus telah melakukan sejumlah perubahan dalam aspek peran dan kepemimpinan perempuan di dalam Gereja Katolik. Kita bisa menjumpai perubahan-perubahan iu tidak hanya dalam pemikiran, tetapi juga tindakan nyata:
(1) Dokumen keterlibatan perempuan dalam Gereja
Dalam seruan apostolik Evangelii Gaudium pada November 2013, ia menyatakan bahwa Gereja mengakui sumbangan perempuan yang sangat dibutuhkan masyarakat, mengakui tanggung jawab perempuan dalam pastoral dan karya lainnya. Paus Fransiskus telah menempatkan landasan pemikiran pentingnya peran perempuan dalam dinamika misi Gereja.
Dalam dokumen Laudato Si', dia mendorong perkembangan teologi perempuan dalam visi ekologi integral dan berpikir melampaui perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Visinya menekankan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, dan spiritual dalam upaya melindungi Bumi sebagai "rumah bersama". Paus menekankan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari masalah sosial seperti kemiskinan dan ketidakadilan—termasuk ketidakdilan gender.
(2) Perempuan sebagai pejabat tinggi di Vatikan
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR