Nationalgeographic.co.id—Awal mula Timbuktu berawal pada tahun 1100-an. Saat itu sekelompok pengembara Tuareg dari Afrika barat laut membuat perkemahan sementara di dekat Sungai Niger. Menurut cerita mistis, mereka pindah ke utara dan meninggalkan perkemahan di bawah penjagaan seorang wanita bernama Bouctou. Setelah kembali ke perkemahan, suku Tuareg menamainya Tinbouctou, yang berarti “Sumur Bouctou.” Permukiman kecil itu tumbuh menjadi pusat perdagangan utama selama bertahun-tahun.
Siapa Pendiri Timbuktu?
Pada awal tahun 1200-an, Suku Malinke yang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mali tinggal di negara bagian kecil Kangaba. Negara bagian itu berada di dekat perbatasan Mali dan Guinea saat ini.
Sekitar tahun 1235, mereka mendukung seorang pemimpin yang diasingkan bernama Sundiata Keita dalam sebuah pertempuran melawan Sumanguru. Sumanguru adalah seorang raja Sosso yang tiran yang telah menyerbu wilayah mereka. Ia mulai memberlakukan aturan perdagangan yang ketat.
Sundiata diyakini telah mempraktikkan Islam sekaligus agama tradisionalnya. “Karena itu, ia mendapat simpati dari penduduk asli dan pedagang Arab Muslim di wilayah tersebut,” tulis Mike Cohen di laman The Collector.
Dengan bantuan tambahan dari para penguasa daerah termasuk raja Mema, Sundiata merebut kembali Kangaba dari Sumanguru. Ia juga memperluas kekuasaannya atas wilayah lain seperti Timbuktu. Wilayah tersebut kaya akan sumber daya seperti garam dan emas. Di bawah Sundiata, Timbuktu menjadi pusat perdagangan yang makmur di dalam Kekaisaran Mali yang didirikan oleh Sundiata.
Timbuktu menjadi kota besar di Kekaisaran Mali setelah keponakan Sundiata, Mansa Musa, naik ke tampuk kekuasaan sekitar tahun 1312. Pemerintahan Mansa Musa terjadi beberapa generasi kemudian. Mansa Musa memperluas wilayah Kekaisaran Mali, mengambil alih kota-kota Gao, Walata, dan Jenne.
Bagaimana Mansa Musa Berkontribusi pada Kebangkitan Timbuktu?
Timbuktu mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1300-an ketika Mansa Musa membawa kembali ribuan buku dari perjalanannya. Hal ini terjadi setelah ia pergi haji ke Mekkah pada tahun 1324. Ia bepergian dengan rombongan besar dan sejumlah besar emas dan dikatakan sebagai orang terkaya di dunia pada saat itu.
Jumlah emas yang dibawa oleh arak-arakannya dikatakan sangat besar sehingga memengaruhi nilai emas di tempat-tempat seperti Mesir.
Sepanjang perjalanan, ia mengumpulkan buku-buku dengan pengetahuan langka yang ia bawa kembali ke Mali. Buku-buku tersebut dikumpulkan dari tempat-tempat seperti Arab Saudi, Maroko, dan Mesir. Ia juga kembali dengan para cendekiawan.
Baca Juga: Saat Baitul Hikmah, Perpustakaan Peradaban Islam Dibakar Bangsa Mongol
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR