Nationalgeographic.co.id—Kebijakan berbasis ilmiah diperlukan untuk menjamin masa depan laut Indonesia yang lestari dan berkelanjutan. Dalam upaya mendorong pengelolaan sumber daya hayati pesisir dan laut berbasis masyarakat serta membangun masa depan perikanan berkelanjutan di Indonesia bagian timur, khususnya di Provinsi Maluku, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersama Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, Universitas Pattimura, masyarakat, dan mitra lainnya melaksanakan ekspedisi ilmiah di Kepulauan Teon, Nila, dan Serua (TNS), Kabupaten Maluku Tengah.
Ekspedisi yang berlangsung selama 15-30 April 2025 ini mencakup survei biofisik, keanekaragaman hayati, sosial ekonomi budaya, tata kelola dan pemetaan spasial yang menyeluruh. Tujuannya untuk mengumpulkan data dasar yang komprehensif untuk mendukung pengelolaan sumber daya hayati pesisir dan laut berbasis masyarakat dan perikanan skala kecil secara berkelanjutan.
“Pemerintah Provinsi Maluku sangat mendukung ekspedisi ini, sebagai komitmen terhadap perlindungan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kami melihat bahwa penguatan data ilmiah dari lapangan menjadi kunci dalam menyusun kebijakan yang berpihak kepada nelayan kecil, tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem pesisir,” tegas Erawan Asikin, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, dalam keterangan tertulis YKAN.
Dalam pelaksanaannya, ekspedisi ini tak hanya melibatkan peneliti dan teknisi, tetapi juga perangkat daerah serta masyarakat lokal. Mereka secara aktif berpartisipasi dalam proses pemetaan partisipatif, pengambilan data lapangan, serta diskusi mendalam mengenai pemanfaatan kawasan perairan di sekitar Pulau Teon, Nila, dan Serua.
“Masyarakat TNS merasa terhormat menjadi bagian dari kegiatan ini. Kehadiran masyarakat sejak awal proses menjadi hal yang sangat penting, karena ini bukan hanya soal pemetaan dan pengumpulan data, tetapi juga menyangkut masa depan kami sebagai komunitas kepulauan,” ujar Ronald Wonmali, Camat Kecamatan Teon, Nila, dan Serua.
Melalui pendekatan ilmiah yang inklusif, tim melakukan pemetaan biofisik terhadap habitat terumbu karang, lamun, dan mangrove. Mereka juga melakukan survei keanekaragaman hayati seperti hiu martil, burung, dan herpetofauna, serta kajian kualitas air dan estimasi simpanan karbon biru.
Selain itu, ada pula dialog dengan masyarakat dan pengumpulan data sosial ekonomi membuka ruang diskusi atas kondisi nelayan dan praktik pengelolaan laut secara tradisional.
“Sebagai akademisi, kami menilai ekspedisi ilmiah ini sangat penting. Kolaborasi antara pengetahuan ilmiah dan lokalitas adalah pilar utama dalam menyusun strategi pengelolaan kawasan yang adil dan efektif," kata Gino Valentino Limmon, Direktur Pusat Pengembangan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura.
Gino menekankan, "Kita harus memastikan bahwa sains tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan realitas sosial dan kearifan masyarakat pesisir."
Dalam proses ini, masyarakat turut dilibatkan untuk memetakan wilayah laut dan potensinya yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Tujuannya agar penghidupan mereka dapat terlindungi dari tekanan dari luar seperti penangkapan ikan berlebihan dan eksploitasi industri.
Baca Juga: Ekspedisi BRIN dan OceanX Petakan Kekayaan Alam Laut Dalam Indonesia
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR