Nationalgeographic.co.id—Bayangkan seekor burung sedang mengepakkan sayapnya, terbang melintasi langit biru — gerakan yang tampak sederhana ini ternyata dibangun dari sejarah evolusi yang panjang dan rumit.
Kini, sebuah penelitian mengungkap bahwa kemampuan terbang tersebut mungkin telah diwarisi dari nenek moyangnya yang sangat kuno: dinosaurus. Temuan ini tidak hanya menghubungkan masa lalu dengan masa kini, tetapi juga menantang pandangan lama tentang bagaimana bulu berkembang selama ratusan juta tahun.
Bulu burung modern ternyata memiliki lebih banyak kesamaan dengan bulu dinosaurus daripada yang sebelumnya diperkirakan para ahli, termasuk dalam hal komposisi protein, menurut analisis sinar-X terbaru. Penemuan ini memberikan wawasan baru tentang evolusi bulu yang berlangsung selama ratusan juta tahun.
Para paleontolog mempelajari bulu dari tiga hewan purba: seekor dinosaurus non-avian berusia 125 juta tahun bernama Sinornithosaurus yang ditemukan di Tiongkok; seekor burung awal dari periode yang sama bernama Confuciusornis, juga ditemukan di Tiongkok; serta satu spesies tak teridentifikasi yang hidup sekitar 50 juta tahun lalu di wilayah yang kini dikenal sebagai Formasi Green River di Wyoming, Amerika Serikat.
Kajian Tiffany S. Slater dan timnya itu berjudul “Preservation of corneous β-proteins in Mesozoic feathers” yang terbit di jurnal Nature Ecology and Evolution. Dengan bantuan analisis sinar-X dan cahaya inframerah, para peneliti mendeteksi jejak corneous beta-proteins (CBPs) pada bulu purba tersebut.
Protein ini, yang sebelumnya dikenal sebagai beta-keratin, berfungsi penting untuk memperkuat struktur bulu agar mampu mendukung kemampuan terbang. Ketika tim internasional ini membandingkannya dengan bulu burung modern seperti burung zebra finch (Taeniopygia), mereka menemukan bahwa struktur kimianya sangat mirip.
"Protein beta yang sama ini juga ada pada bulu burung modern," kata penulis utama studi, Tiffany Slater, peneliti pascadoktoral di bidang paleobiologi dari University College Cork di Irlandia, seperti dikutip dari laman Live Science.
Sebelum studi ini, para ilmuwan mengira bahwa bulu hewan purba memiliki komposisi protein yang benar-benar berbeda dan sebagian besar tersusun dari protein alfa, yang tidak sekuat CBPs. Namun, studi baru ini menunjukkan bahwa bulu purba ternyata terutama terdiri dari CBPs, dan bahwa protein tersebut berubah menjadi protein alfa selama proses fosilisasi, menurut pernyataan resmi.
"Bulu dinosaurus yang kami analisis sebagian besar terdiri dari protein beta," kata Slater. "Jadi, laporan sebelumnya yang menyatakan bahwa bulu purba didominasi oleh protein alfa kemungkinan besar merupakan hasil dari proses fosilisasi."
Pandangan baru ini tidak hanya menunjukkan bahwa protein dapat terawetkan dalam catatan fosil hingga lebih dari 125 juta tahun, tetapi juga memberikan pandangan baru mengenai evolusi bulu purba dengan "memperluas skala waktu jauh lebih jauh dari yang kita perkirakan sebelumnya," ujar Slater.
Baca Juga: Berkat Bulu, Dinosaurus Berbulu Selamat dari Bencana Besar Ini
Source | : | Live Science,Nature Ecology and Evolution |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR