“Jika suhunya melampaui kisaran normal dan nilai isotopiknya berada di luar nilai hidrotermal yang dikenal, kemungkinan besar ada proses lain yang terlibat,” jelas Kaskes.
Proses tersebut bisa jadi adalah dekarbonasi termal cepat, di mana kalsium oksida (CaO) bereaksi ulang secara cepat dengan karbon dioksida (CO₂) yang dilepaskan dari batuan yang menguap, membentuk kristal kalsium karbonat (CaCO₃) baru.
Artinya, sebagian besar karbon dioksida yang dilepaskan saat tumbukan bisa jadi langsung "dikunci kembali" dalam bentuk mineral, dan tidak masuk ke atmosfer.
Jika benar, hal ini berarti jumlah karbon dioksida yang mencemari atmosfer setelah tumbukan jauh lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya.
Implikasinya, pemanasan global dan pengasaman laut yang terjadi setelah peristiwa itu mungkin tidak seburuk yang diduga. Namun, para ilmuwan masih memperdebatkan bagaimana kondisi iklim sebenarnya berubah di akhir periode Kapur.
Metode paleotermometri ini tidak hanya membuka tabir suhu di Kawah Chicxulub, tetapi juga dapat diterapkan pada kawah tumbukan lain di seluruh dunia, memberikan peluang baru untuk memahami dampak tumbukan asteroid terhadap kehidupan di Bumi.
“Mereka (asteroid) punya pengaruh besar terhadap evolusi kehidupan di planet ini — lihat saja kasus Chicxulub,” kata Kaskes.
“Jadi, memahami secara rinci bagaimana proses ini bekerja sangat penting untuk memahami sejarah planet kita dan sejarah spesies kita sendiri.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR