Nationalgeographic.co.id—Sekitar 66 juta tahun lalu, sebuah asteroid raksasa menghantam Bumi dan memicu kepunahan massal, termasuk lenyapnya para dinosaurus. Tapi, seberapa panas sebenarnya Kawah Chicxulub — lokasi tumbukan dahsyat itu — sesaat setelah peristiwa tersebut terjadi?
Kawah Chicxulub adalah kawah kuno yang tersembunyi di bawah Semenanjung Yukatan, Meksiko. Kawah ini terbentuk akibat tabrakan asteroid selebar 11 hingga 81 kilometer, yang dikenal sebagai penabrak Chicxulub.
Berkat teknologi “paleotermometer”, para ilmuwan kini berhasil memperkirakan suhu yang tercipta di lokasi tersebut tak lama setelah tumbukan — dan hasilnya benar-benar membakar imajinasi.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal PNAS Nexus, tim peneliti menemukan bahwa suhu batuan di dalam kawah pernah mencapai sekitar 330 derajat Celsius (625 derajat Fahrenheit) pada akhir periode Kapur.
Menariknya, penelitian ini juga menyuguhkan temuan bahwa dampak tumbukan mungkin tidak melepaskan karbon dioksida sebanyak yang sebelumnya diperkirakan. Hal ini dapat mengubah pemahaman ilmiah tentang peristiwa kepunahan massal yang menyusul setelahnya.
Kawah Chicxulub terbentuk ketika asteroid berdiameter sekitar 12 kilometer melaju dengan kecepatan sekitar 43.000 km/jam dan menghantam Bumi, menciptakan cekungan raksasa selebar 200 kilometer di wilayah yang kini menjadi bagian dari Teluk Meksiko.
Sesaat setelah tumbukan, gelombang tsunami dahsyat menghantam dan membantu mengisi kembali kawah tersebut dengan sedimen. Dalam jutaan tahun berikutnya, lapisan batuan terus mengendap di atasnya, menguburnya dalam sejarah geologi — namun tetap sangat terjaga.
“Anda memang tidak bisa mengaksesnya dengan mudah, tapi di sisi lain, kawah ini sangat terawetkan,” ujar Pim Kaskes, ahli geologi dari Université libre de Bruxelles yang memimpin penelitian ini. “Kuncinya adalah menemukan batuan yang tepat, material yang tepat, dan menerapkan teknik yang tepat untuk mengungkap misterinya.”
Kaskes dan timnya menganalisis sampel batuan yang diambil dari bagian cincin pusat kawah pada tahun 2016. Mereka menggunakan metode termometri isotop karbonat terikat — atau paleotermometri — yang memungkinkan mereka merekonstruksi suhu purba dengan mendeteksi ikatan antara isotop karbon-13 dan oksigen-18 dalam mineral karbonat.
Meski suhu awal akibat tumbukan kemungkinan besar mencapai ribuan hingga puluhan ribu derajat, batuan yang mencatat suhu ekstrem itu telah menguap. Namun, batuan yang terbentuk sesaat setelah tumbukan tetap menyimpan jejak panas yang bisa dianalisis.
Suhu tertinggi yang tercatat, yakni 330°C, ditemukan pada batuan yang diambil dari kedalaman lebih dari 700 meter di bawah dasar laut.
Suhu ini jauh lebih tinggi dibanding suhu maksimum lautan pada akhir Zaman Kapur (sekitar 35,5°C), serta lebih tinggi dari yang diperkirakan akibat proses penguburan atau aktivitas hidrotermal biasa (antara 50–200°C). Hal ini menunjukkan adanya proses luar biasa lain yang sedang berlangsung.
“Jika suhunya melampaui kisaran normal dan nilai isotopiknya berada di luar nilai hidrotermal yang dikenal, kemungkinan besar ada proses lain yang terlibat,” jelas Kaskes.
Proses tersebut bisa jadi adalah dekarbonasi termal cepat, di mana kalsium oksida (CaO) bereaksi ulang secara cepat dengan karbon dioksida (CO₂) yang dilepaskan dari batuan yang menguap, membentuk kristal kalsium karbonat (CaCO₃) baru.
Artinya, sebagian besar karbon dioksida yang dilepaskan saat tumbukan bisa jadi langsung "dikunci kembali" dalam bentuk mineral, dan tidak masuk ke atmosfer.
Jika benar, hal ini berarti jumlah karbon dioksida yang mencemari atmosfer setelah tumbukan jauh lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya.
Implikasinya, pemanasan global dan pengasaman laut yang terjadi setelah peristiwa itu mungkin tidak seburuk yang diduga. Namun, para ilmuwan masih memperdebatkan bagaimana kondisi iklim sebenarnya berubah di akhir periode Kapur.
Metode paleotermometri ini tidak hanya membuka tabir suhu di Kawah Chicxulub, tetapi juga dapat diterapkan pada kawah tumbukan lain di seluruh dunia, memberikan peluang baru untuk memahami dampak tumbukan asteroid terhadap kehidupan di Bumi.
“Mereka (asteroid) punya pengaruh besar terhadap evolusi kehidupan di planet ini — lihat saja kasus Chicxulub,” kata Kaskes.
“Jadi, memahami secara rinci bagaimana proses ini bekerja sangat penting untuk memahami sejarah planet kita dan sejarah spesies kita sendiri.”
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR