Nationalgeographic.co.id—Di langit yang tampak bersih, awan ternyata bisa menyimpan polusi tak kasatmata, yaitu mikroplastik. Ilmuwan membuktikan bahwa partikel plastik mikroskopis tak hanya mencemari laut dan tanah, tapi juga ikut terbawa ke atmosfer, masuk ke dalam awan, dan berpotensi mengubah pola cuaca.
Temuan ini membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang sejauh mana dampak plastik terhadap iklim.
Awan berperan penting dalam memengaruhi cuaca dan iklim Bumi dengan berbagai cara. Keberadaan partikel mikroplastik di atmosfer bisa mengubah proses-proses tersebut. Awan terbentuk ketika uap air—gas tak kasatmata di atmosfer—menempel pada partikel kecil yang melayang di udara, seperti debu, dan berubah menjadi tetesan air atau kristal es.
Dalam studi yang dipublikasikan di ACS Publication, para peneliti menemukan bahwa partikel mikroplastik dapat menyebabkan efek serupa. Bahkan, mikroplastik dapat memicu pembentukan kristal es pada suhu 5 hingga 10 derajat Celsius lebih hangat dibanding tetesan air yang tidak mengandung mikroplastik.
Temuan ini mengisyaratkan bahwa mikroplastik di udara bisa memengaruhi cuaca dan iklim dengan membentuk awan dalam kondisi yang sebelumnya tidak memungkinkan.
Para ahli kimia atmosfer meneliti bagaimana berbagai jenis partikel dapat membentuk es saat bersentuhan dengan air cair—sebuah proses yang disebut nukleasi, dan terjadi secara terus-menerus di atmosfer.
Awan bisa terdiri dari tetesan air, partikel es, atau kombinasi keduanya. Di atmosfer bagian tengah hingga atas, pada suhu antara 0 hingga minus 38 derajat Celsius, kristal es biasanya terbentuk di sekitar partikel mineral dari tanah kering atau partikel biologis seperti serbuk sari atau bakteri.
Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter—seukuran ujung penghapus pensil, dan sebagian bahkan mikroskopis.
Para ilmuwan telah menemukan mikroplastik di laut dalam Antarktika, puncak Gunung Everest, hingga salju segar di Kutub Selatan. Karena ukurannya yang sangat kecil, partikel ini dengan mudah terbawa angin dan menyebar di atmosfer.
Kenapa ini penting
Kristal es dalam awan berpengaruh besar terhadap cuaca dan iklim karena sebagian besar presipitasi—hujan atau salju—berawal dari partikel es.
Baca Juga: Mikroplastik Ditemukan di dalam Buah Zakar Manusia, Apa Dampaknya?
Di banyak wilayah non-tropis, puncak awan menjangkau ketinggian yang cukup dingin sehingga kelembapannya membeku. Begitu es terbentuk, kristal akan menyerap uap air dari tetesan di sekitarnya, lalu tumbuh cukup besar dan berat untuk jatuh ke bumi sebagai hujan atau salju. Jika es tidak terbentuk, awan justru akan menguap dan tak menghasilkan hujan.
Meski sejak kecil kita diajarkan bahwa air membeku pada suhu 0 derajat Celsius, nyatanya, tanpa partikel pemicu seperti debu, air bisa tetap cair hingga suhu minus 38 derajat sebelum membeku.
Untuk bisa membeku pada suhu lebih hangat, dibutuhkan partikel yang tidak larut dalam air sebagai permukaan awal pembentukan kristal es. Jika mikroplastik hadir, mereka bisa menjadi pemicu, dan berpotensi meningkatkan curah hujan atau salju.
Awan juga berperan dalam mengatur suhu bumi: mereka memantulkan sinar matahari yang masuk (mendinginkan), sekaligus menyerap sebagian radiasi panas dari permukaan bumi (menghangatkan).
Rasio antara jumlah air cair dan kristal es dalam awan menentukan seberapa besar efek ini. Jika mikroplastik meningkatkan kandungan es dalam awan, perubahan rasio ini bisa memengaruhi keseimbangan energi Bumi.
Bagaimana penelitian dilakukan
Untuk menguji apakah mikroplastik bisa menjadi inti pembentuk kristal es, para peneliti menggunakan empat jenis plastik yang paling umum ditemukan di atmosfer: polietilena densitas rendah (LDPE), polipropilena (PP), polivinil klorida (PVC), dan polietilena tereftalat (PET).
Masing-masing diuji dalam kondisi murni dan setelah terpapar sinar ultraviolet, ozon, serta asam—unsur-unsur yang umum ditemukan di atmosfer dan bisa mengubah sifat mikroplastik.
Tim peneliti menggantungkan mikroplastik dalam tetesan air kecil dan menurunkan suhunya secara perlahan untuk melihat kapan pembekuan terjadi. Mereka juga menganalisis struktur permukaan plastik untuk memahami bagaimana sifat kimia permukaan memengaruhi proses nukleasi.
Hasilnya, pada sebagian besar jenis plastik yang diuji, setengah dari tetesan air membeku saat suhu mencapai minus 22 derajat Celsius. Hasil ini serupa dengan temuan ilmuwan Kanada dalam studi lain, yang juga menunjukkan bahwa mikroplastik bisa mempercepat pembentukan es.
Menariknya, paparan sinar UV, ozon, dan asam cenderung menurunkan kemampuan partikel mikroplastik dalam membentuk es. Ini menunjukkan bahwa perubahan kimia sekecil apa pun pada permukaan plastik bisa memengaruhi proses pembekuan.
Meski begitu, plastik tersebut masih tetap memicu terbentuknya es, sehingga tetap berpotensi memengaruhi komposisi awan di atmosfer.
Apa yang Masih Belum Diketahui
Untuk benar-benar memahami bagaimana mikroplastik memengaruhi cuaca dan iklim, para ilmuwan perlu mengetahui seberapa banyak partikel mikroplastik yang terdapat di ketinggian tempat awan terbentuk.
Selain itu, penting juga untuk membandingkan konsentrasi mikroplastik dengan partikel lain yang bisa memicu pembentukan es, seperti debu mineral dan partikel biologis, guna melihat apakah mikroplastik ada dalam jumlah yang sebanding.
Data-data ini sangat dibutuhkan agar para peneliti bisa membuat model yang akurat mengenai dampak mikroplastik terhadap proses pembentukan awan.
Fragmen plastik sendiri hadir dalam berbagai ukuran dan komposisi. Para ilmuwan selanjutnya berencana untuk menguji jenis plastik yang mengandung bahan tambahan seperti pelentur (plasticizer), pewarna, serta partikel plastik yang lebih kecil ukurannya, demi memahami efeknya secara lebih mendalam.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR