Hal yang sama berlaku untuk frasa seperti “aku sayang kamu.” Bagi seekor beo, “makna dari ‘aku sayang kamu’ bukanlah konsep abstrak tentang cinta,” ujar Colbert-White, “melainkan, ‘saya tahu kalau saya mengucapkan ini, saya akan mendapat perhatian, kasih sayang, dan interaksi dengan pasangan saya.’”
“Saya rasa tidak ada yang terlalu luar biasa dari kenyataan bahwa mereka tidak benar-benar memahami arti mendalam frasa tersebut, karena ada juga manusia yang mengucapkannya tanpa paham betul,” tambahnya. “Yang penting, frasa itu punya fungsi.”
Pada akhirnya, setiap beo memiliki kemampuan unik dalam memahami ucapan manusia. Ada juga beo yang sama sekali tidak pernah berbicara, terutama jika mereka memiliki sesama beo untuk bercicit bersama, kata Colbert-White.
Terkait hal itu, Pepperberg berpendapat bahwa sudah saatnya manusia lebih menghargai kemampuan komunikasi alami yang dimiliki burung beo — yang sejauh ini baru sedikit sekali dipahami oleh para peneliti — daripada sekadar memaksakan mereka belajar bahasa manusia.
“Kita cenderung menganggap hewan kurang cerdas dari kita, tapi justru mengharapkan mereka memahami sistem komunikasi kita,” ujar Pepperberg. “Padahal, kita sudah lebih dari 50 tahun mencoba memecahkan sistem komunikasi mereka — dan sejauh ini, belum banyak berhasil.”1
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR