Nationalgeographic.co.id—Krisis iklim bukan lagi semata soal cuaca ekstrem atau naiknya permukaan laut. Kini, ia menjelma menjadi pemicu krisis baru yang berpotensi mengguncang stabilitas dunia: perang. Dalam dekade-dekade mendatang, kelangkaan air, migrasi massal, dan keruntuhan sumber daya alam diprediksi akan menjadi pemantik konflik berskala global.
Konflik semacam ini bukan lagi ancaman masa depan yang hipotetis, melainkan realitas yang mulai terbentuk dan berpotensi mengubah cara kita memahami peperangan di abad ke-21.
Perubahan iklim semakin dianggap sebagai "pengganda ancaman"—memperburuk ketegangan politik dan ekonomi yang sudah ada. Dua faktor utama yang mendasari potensi konflik ini adalah krisis air dan migrasi massal.
Jika tidak ada tindakan global yang terkoordinasi, dunia berisiko terjerumus ke dalam lingkaran masalah: hilangnya mata pencaharian, meningkatnya kerusuhan sipil dan kekerasan politik, hingga melonjaknya konflik perbatasan akibat gelombang migrasi.
Dunia yang semakin terhubung menjadikan krisis di satu wilayah mudah menyebar ke wilayah lain. Air bersih, sebagai kebutuhan dasar manusia, semakin langka. Ketika pasokannya tidak mencukupi, konflik menjadi sulit dihindari.
Sementara itu, kenaikan permukaan laut dan suhu ekstrem akan menjadikan banyak kota tidak lagi layak huni, mendorong perpindahan penduduk dalam skala besar ke wilayah yang masih bisa dihuni.
Negara-negara yang merasa terancam kemungkinan besar akan menggunakan teknologi militer untuk melindungi warganya, dan semakin bersikap tertutup terhadap dunia luar.
Ketika kapitalisme mulai rapuh dan ketimpangan sosial melebar, negara, korporasi besar, bahkan individu superkaya bisa mengambil alih penanganan iklim demi keuntungan sendiri, dengan mengorbankan kelompok rentan.
Krisis Air
Peradaban besar dunia lahir di lembah sungai subur seperti Nil, Tigris, Efrat, dan Indus. Kini, negara-negara di hulu memiliki kontrol atas pasokan air yang penting bagi negara di hilir—dan di tengah iklim yang memanas, hal ini bisa memicu konflik.
Irak menjadi contoh nyata. Wilayah pertanian di sekitar Basra mengering karena pembangunan bendungan oleh Turki dan dampak perubahan iklim. Ketegangan meningkat antara Pemerintah Daerah Kurdistan di utara, pemerintah pusat di Baghdad, dan penduduk selatan Irak.
Baca Juga: Perubahan Iklim, Laut Lebih Panas Empat Kali Lipat dalam Empat Dekade
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR